SOLOPOS.COM - Desa Kandangsapi, Kecamatan Jenar, Sragen (twitter)

Solopos.com, SRAGEN — Dewasa ini hampir di setiap rumah warga sudah tersedia televisi (TV). Selain menjadi sarana hiburan, TV menjadi media penyalur informasi. Namun, siapa sangka, salah satu kampung terpencil di Kabupaten Sragen ini justru mengharamkan warganya memiliki TV.

Kampung tersebut bernama Singomodo yang berlokasi di Desa Kandangsapi, Kecamatan Jenar, Sragen. Kampung ini berlokasi di perbatasan wilayah Sragen dengan Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Ngawi.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

“Memang benar, di Dukuh Singomodo itu tidak ada warga yang memiliki TV dan radio tape. Itu terkait sejarah dari dukuh itu,” ujar Kepala Desa Kandangsapi, Pandu, kepada Solopos.com, Jumat (8/10/2021).

Pandu menjelaskan di Kampung Singomodo, terdapat sebuah makam ulama yang dipercaya sebagai seorang wali. Ulama itu bernama Syekh Nasher atau Eyang Singomodo. “Nama panggilannya itu Mbah Gedong,” papar Pandu.

Baca Juga: 6 Mitos Populer yang Berkembang di Masyarakat Sragen

Usut punya usut, warga Kampung Singomodo yang mengharamkan TV dan radio tape itu ternyata percaya akan sebuah mitos yang sulit dicerna dengan akal sehat.

Kemuculan mitos itu bermula dari kisah Syekh Nasher dalam menyebarkan agama Islam di wilayah setempat pada masa lalu.

Eyang Singomodo dikenal sebagai salah satu tokoh wali dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada masa kepemimpinan PB II. Eyang Singomodo memilih keluar dari Keraton untuk menyebarkan ajaran Islam. Bersama pengikutnya, Eyang Singomodo kemudian mendirikan sebuah padepokan di kawasan yang saat ini dikenal dengan nama Dukuh Singomodo.

Untuk menandai batas wilayah Kampung Singomodo, Syekh Nasher membuat pematang di sekeliling kampung. Hingga kini, pematang yang mengitari kampung itu juga masih ada.

Baca Juga: Misteri Batu Keramat di Desa Gebang Sragen yang Tak Bisa Dipindah, Ternyata…

Suatu hari, Syekh Nasher mengajak pengikutnya membangun rumah sebagai tempat tinggal. Namun ada salah satu pengikut bandel. Alih-alih ikut membantu membuat tempat tinggal, pengikut itu malah kepincut nonton ledek.

Karena dianggap balela dan melanggar norma kesopanan, salah satu pengikut dan seorang ledek itu akhirnya dipanggil Syekh Nasher. Keduanya langsung ditawari menikah dan diminta tinggal ke barat jalan atau memisahkan diri, sedangkan Syekh Nasher dan pengikut setianya tinggal di timur jalan.

Syekh Nasher kemudian mengeluarkan maklumat melarang pengikut yang tinggal di wilayah timur jalan mendengarkan atau membunyikan gamelan yang biasa dipakai untuk mengiringi sinden. Mereka juga dilarang menggelar hajatan atau hiburan yang mengundang sinden jika tidak ingin mendapat musibah.

Baca Juga: Jadi Bagian dari Sejarah Karanganyar, Burung Derkuku Punya Banyak Mitos

Dari sinilah mitos itu terlahir. Hingga kini, warga setempat tidak ada yang berani menonton sinden apalagi memutar musik gamelan. Bahkan, demi memegang teguh kepercayaan itu, warga mengharamkan TV dan radio tape. Sebab, dikhawatirkan TV dan radio tape itu akan menyajikan siaran terkait pertunjukan sinden.

Padahal, bagi warga di utara Sungai Bengawan Solo, khususnya di wilayah Jenar dan Tangen, ada anggapan yang menyebut bila belum meriah suatu hajatan yang digelar warga bila tidak mengundang sinden tarub.

Konon, ada salah seorang warga yang pernah nekat mengundang sinden. Warga tersebut berusaha mengingkari mitos yang sudah berkembang secara turun temurun. Pada awalnya, semua masih berjalan lancar. Sinden itu datang untuk memeriahkan acara hajatan warga itu. Namun, kejadian nahas terjadi hanya beberapa saat setelah sinden itu meninggalkan kampung.

Baca Juga: 2 Mitos Kepercayaan Masyarakat ini Bikin Sungai Bengawan Solo Kian Kotor

Saat mengantar kepergian sang sinden, warga tersebut tiba-tiba kejatuhan buah kelapa tepat di kepalanya. Hingga akhirnya warga tersebut meninggal dunia. Kejadian itu makin menguatkan adanya mitos yang berkembang secara turun temurun itu. Hingga kini, Singomodo pun mendapat julukan kampung antisinden.

“Kalau ada hajatan di Kampung Singomodo, [suara musik] yang boleh diputar hanya syair-syair Islam. Selain itu tidak boleh. Apalagi itu [mengundang sinden] dan minuman keras seperti bir,” ujar Kepala Desa Kandangsapi, Pandu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya