Soloraya
Rabu, 6 September 2023 - 20:49 WIB

Perjalanan 3 Dekade Pecas Ndahe, Bermula dari Grup Musik Komedi Suku Apakah

Dhima Wahyu Sejati  /  Ahmad Mufid Aryono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Pecas Ndahe. (Istimewa)

Solopos.com, SOLO–Waktu itu, tahun 1989, lingkungan Seni Rupa Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo sangat cair dan guyub. Tidak ada sekat antara mahasiswa junior dan senior. Bahkan dosen pun ikut membaur. Mereka berkawan begitu saja. 

Kalau sudah kumpul, seakan tidak pernah kenal waktu. Nongkrong bersama teman bisa semalam suntuk. Ada yang nekat tidak pulang dan sengaja menginap di kampus. Tidak jarang ada yang nekat tidur di meja dosen.

Advertisement

Ketika nongkrong itu, kreativitas anak-anak seni rupa terlihat. Salah satunya main-main alat musik seperti gitar. Tentu sambil main lagu. Namun, karena mahasiswa seni itu terkenal nyeleneh dan slengekan , lagu itu dibuat lucu. Suasana tongkrongan pun penuh kelakar.

Untuk menampung kreativitas dan hasrat bermusik anak-anak seni rupa, dibentuklah grup musik bernama Suku Apakah. Nampaknya, grup itu atas inisiatif mahasiswa senior dan dosen Seni Rupa kala itu. Tentu dosen ikut bermain musik.

Hingga dibentuk dua kelompok, Suku Apakah Senior dan Suku Apakah Junior. Nurul dan Wasik pernah ikut manggung bersama Suku Apakah Junior. 

Seiring waktu, Suku Apakah yang awalnya hanya pentas di internal kampus itu malah banjir undangan pentas di luar kampus. Mereka kebanjiran job. Dan mulai muncul gesekan lantaran masalah uang.

Gitaris sekaligus Presiden Pecas Ndahe, Ahmad Nurul mengingat momen itu, singkatnya grup musik komedi Suku Apakah dibubarkan secara baik-baik. Lantaran sudah keluar dari tujuan awal yakni menampung kreativitas mahasiswa, malah bernuansa bisnis.

Namun, mereka tidak bisa berhenti bermusik. Mahasiswa yang suka bermusik dan berkomedi itu akhirnya membentuk grup baru. Dua di antaranya Pecas Ndahe dan Teamlo. 

“Akhirnya dibentuk Pecas Ndahe pada 5 September 1993,” kata Nurul ketika berbincang dengan Solopos.com di rumahnya, Rabu (6/9/2023).

Advertisement

Di grup, mahasiswa Seni Rupa kreatif dan berjiwa seni seperti Ahmad Nurul, Wisik Sunaryanto, Aziz Syamsuri, Gigiek Sasongko, Budi Jatmiko (BJ), dan Edy Dangdut bertemu.

Ada pula mahasiswa lain misal  Firman yang berasala dari Fakultas Pertanian,  Cak Ndaru mahasiswa Sastra Inggris, dan nonmahasiswa yakni Wahyu. Lalu Yoik (mahasiswa Pertanian), Emil, dan Burhan (keduanya Seni Rupa) menyusul pada akhir tahun pertama.

Nama Pecas Ndahe tentu plesetan dari Pecah Ndase (Kepalanya Pecah). Nurul mengatakan itu merupakan refleksi dari keadaan sosial-politik masa Orde Baru yang sedang sumpek. Kebijakan yang terlalu represif dan pembatasan ruang sana-sini membuat kepala orang jadi pecah.

“Menghibur orang-orang yang pecah ndase, hanya sesimpel itu, kita tidak membayangkan sampai tiga puluh tahun,” kata dia.

Kala itu komedi yang dibawakan ternyata tidak hanya sebatas plesetan lagu, sleptik, atau ‘srimulatan’, tapi juga diselipi kritik sosial sampai politik. Komedi itu tentu saja berangkat dari keadaan rezim Soeharto yang represif.

“Katika dibawakan ternyata banyak yang tepuk tangan, merasa diwakili. Tapi itu hanya sekali-kali, paling hanya satu lagu. Tidak banyak dulu yang berani begitu. Kita menyinggung itu [kritik sosial-politik] untuk kepentingan tampil saja, ” kata dia.

Nurul mengingat komedi Pecas Ndahe yang dibawakan di panggung kala itu berbeda dari sekarang. Dulu dia mengakui lebih banyak mengangkat kehidupan sehari-hari mahasiswa seni, komedi ‘dewasa’, sampai intelek.

Advertisement

“Semakin ke seni, Pecas Ndahe lebih membawakan komedi yang intelek. Sebenarnya sejak dulu sudah dikonsep, tapi komedi intelek itu seperti apa ga tau kita. Akhirnya seiring dengan berjalannya waktu kita semakin tahu,” kata Nurul.

Memperbarui Materi Komedi

Tiga dekade bukan waktu yang singkat, Pecas Ndahe menghadapi selera komedi orang-orang yang terus berubah. Termasuk ketika komedi beralih wahana ke Stand Up Comedy yang lebih terkonsep.

Mereka selalu memperbarui materi, memperbarui lagu, mengikuti apa yang sedang viral. Tujuannya agar penonton paham dan bisa menerima komedi yang dibawakan dan tertawa bersama.

Pendiri awal sekaligus mantan Vokalis Pecas Ndahe, Wisik Sunaryanto mengatakan kebutuhan mengikuti hal yang viral adalah menciptakan kesepahaman dengan penonton. Sebab komedi menuntut penontonnya paham, lalu logikanya dibelokkan.

“Komedi paling gampang berangkat dari yang semua orang ngerti, otomatis harus mengambil dari suatu yang populer. Dari situ kan logikanya hampir semua orang tahu, komedi itu kan selalu mematahkan logika,” kata dia.

Wisik menyebut pada dasarnya Pecas Ndahe memainkan hampir semua konsep komedi, termasuk slapstick dan stand up comedy. Dia mengingat 2003 grup asli Solo itu pernah menghibur penonton dengan konsep monolog, yakni pidato presiden. 

Advertisement

“Itu stand up comedy, itu monolog,” kata dia ketika ditemui Solopos.com di Rumah Blogger Indonesia, Solo, Rabu (6/9/2023).

Selain itu komedi yang sering dimainkan adalah di kostum. Misal menirukan kostum superhero atau tokoh yang sedang populer. Wisik ingat dirinya pernah memparodikan Michael Jackson, Britney Spears, sampai Jennifer Lopez.

Komedi yang dimainkan Pecas Ndahe memang terkonsep di awal. Mereka biasanya menyusun playlist lagu termasuk bagian mana saja yang akan diselingi dialog komedi. Lalu yang berada di depan sebagai Joker, mereka lebih sering memainkan improvisasi.

Wisik tidak lagi menjadi personel Pecas Ndahe sejak dirinya mengalami kecelakaan pada 2015. Insiden itu membuat dirinya haru istirahat dari panggung musik dan komedi. Namun, bagaimanapun Wasik sampai kapanpun menganggap dirinya menjadi bagian dari keluarga besar Pecas Ndahe.

Tetap 5 September 2023 lalu, Pecas Ndahe memasuki usia 30 tahun. Wisik menganggap itu sebuah keberkahan yang tidak semua grup musik alami. Tentu saja juga perlu dirayakan dan disyukuri.

Digitalisasi

Namun, bukan berarti Pecas Ndahe cuma berdiam diri saja. Terlebih, menurut dia, sejak 10 tahun lalu kesenian mengalami tantangan baru lantaran proses digitalisasi yang sangat masif. 

Advertisement

“Setelah 30 tahun Pecas Ndahe [harus] bisa melakukan tidak seperti apa yang sudah. Nah ini pasti pekerjaan besar, perlu daya besar, dan mungkin perlu darah segar [anggota baru],” kata dia.

Wisik menyebut harus bisa menyiasati era baru dan penonton seperti Gen Z (lahir 1997-2012). Tidak menutup kemungkinan, untuk mensiasati itu perlu darah baru yang bisa menjangkau.

“Darah baru itu bisa saja tim kreatif, bisa saja anggota baru, karena bekerja dengan grup lain, seperti Dewa 19 pun mencari cara untuk menyegarkan. Tapi di dalamnya tentu harus memiliki spirit yang bersifat universal dan lestari,” kata dia.

Pengamat musik sekaligus Dosen Komunikasi Terapan Sekolah Vokasi UNS Solo, Joko S. Gombloh menyebut awetnya grup musik komedi Pecas Ndahe lantaran para personelnya berhasil merawat hubungan dari dalam.

“Musik mereka sangat konsisten ya. Konsistensi itu juga berasal bagaimana mereka mengelola kelompok itu,” kata dia kepada Solopos.com, Senin.

Menurutnya meski personel awal banyak yang keluar dan mangkat, namun soliditas masih terjaga dengan kuat. Hal itu juga yang membuat grup musik komedi itu masih bertahan. Padahal mereka bisa dibilang jauh dari pusat industri musik yakni Jakarta.

“Saya menduga karena mereka lahir dari spirit militansi mahasiswa yang kuat pada waktu itu,” kata dia.

Advertisement

Meski begitu mereka pernah dikontrak TV nasional. Namun, pengakuan Wisik dan Nurul kompak mengatakan Pecas Ndahe tidak terlalu mengejar industri, mereka justru berusaha menjaga jarak. Malah itulah salah satu alasan Pecas Ndahe bertahan sampai tiga dekade.

Kini sejak 10 tahun lalu personel Pecas Ndahe sekarang berjumlah delapan dan sangat solid dengan Ahmad Nurul (Presiden/Gitaris), Pendek (Bas), Tomo (Drummer), Yoik (Guitar Triple Neck), Doel (Guitar Double Neck), Makch (vokalis), Toni (vokalis), dan Widi Kocrit (Joker).

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif