SOLOPOS.COM - Ilustrasi indekos (JIBI/Dok)

Solopos.com, SOLO — Para pelaku usaha hotel kelas melati mengeluh dengan keberadaan indekos yang menjamur di Kota Bengawan baru-baru ini. Keluhan para pengusaha hotel melati tersebut sempat diadukan ke Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI).

Persoalan tersebut mencuat dalam Forum Diskusi Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) dengan tajuk Booming Bisnis Indekos di Hotel Pose In, Solo, Jawa Tengah, Selasa (16/12/2014) sore. Diskusi terbatas tersebut diikuti para pengusaha indekos, hotel, dan sejenisnya. Anggota Komisi II DPRD Solo, Ginda Ferachtriawan, juga hadir dalam kesempatan itu mewakili institusi DPRD Solo.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Sekrketaris PHRI Solo, M. Noeryoto, dalam forum tersebut mengisahkan upaya pendampingan terhadap para pengusaha hotel melati bersama Ketua PHRI Solo, Abdullah Suwarno, pada Maret lalu. Dia menjelaskan banyak hotel melati yang mengadu ke PHRI karena banyaknya usaha indekos yang menyewakan kamar secara harian.

“Aduan itu sempat kami sampaikan kepada Wali Kota Solo. Setelah itu sempat ada operasi penertiban dari Satpol PP [Satuan Polisi Pamong Praja] di daerah Sondakan. Tetapi, tindak lanjut aduan tersebut tidak ada sampai sekarang. Seakan-akan usaha hotel melati itu jadi kalah dengan usaha indekos. Sewa indekos lebih murah daripada hotel kelas melati,” terang dia.

Hal senada juga disampaikan pejabat Humas PHRI Solo, Muhammad Sholahudin Aji. Dia ingin Pemkot bisa menempatkan indekos pada fungsi sebagaimana mestinya. Dia meminta Pemkot melakukan penertiban terhadap usaha indekos.

“Kalau sewanya bulanan ya bulanan, jangan buka harian. Kemudian dari sisi pajaknya berbeda. Hotel melati berteriak karena pajaknya 10%, sedangkan indekos pajaknya hanya 5%. Itu pun pungutan pajaknya kalau ingat,” paparnya.

Indekos Mewah
Seorang pengusaha indekos dengan 55 kamar di Jebres, Agung, menerangkan perkembangan indekos di sekitar kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo semakin masif. Bahkan model indekosnya mengarah pada indekos mewah dengan sewa Rp10 juta-Rp15 juta per tahun. “Saya sendiri pernah buka sewa indekos secara harian ketika ada kamar kosong. Tetapi hal itu sangat jarang karena saya cenderung sewa tahunan,” papar dia.

Seorang Ketua RW di Kelurahan Bumi, Laweyan, Sri Sumanta, ingin menunjukkan banyaknya indekos yang tidak izin ke lingkungan. Sumanta, sapaan akrabnya, menyebut ada empat indekos di sekitar lingkungannya, tapi hanya dua indekos di antaranya yang melapor ke pengurus RT/RW.

Sementara itu, anggota Komisi II DPRD Solo, Ginda Ferachtriawan, dalam kesempatan itu menyampaikan definisi pemondokan yang diatur dalam Perda Usaha Pemondokan. Ginda lebih banyak meminta masukan dari para usaha perhotelan dan pemondokan terkait dengan implementasi perda yang digedok DPRD, Senin (15/12) lalu.

“Tujuan perda ini untuk pengendalian dan pengawasan serta ada pendapatan daerah. Saya tidak ingin bila hanya punya dua kamar indekos harus izin sesuai perda. Apalagi hanya satu kamar, ya cukup dengan izin lingkungan,” cetusnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya