SOLOPOS.COM - Seorang pengamen dengan menggunakan kostum badut terjaring razia dan dibawa ke Mako Satpol PP Sragen, Selasa (31/10/2023). (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN — Persimpangan di sepanjang jalan Solo-Sragen, Jl. Raya Sukowati, dan jalan Sragen-Ngawi, mulai dari simpang empat Nguwer, Kecamatan Sidoharjo hingga simpang empat Pilangsari, Kecamatan Ngrampal, Sragen terlarang untuk pengemis, pengamen, gelandangan, dan orang telantar (PGOT), termasuk anak-anak punk.

Jika ada PGOT yang nekat beroperasi di daerah larangan tersebut, aparat Satpol PP Sragen tak segan menertibkan. Sebagai catatan, sepanjang tahun ini hingga September sedikitnya 236 PGOT terjaring razia Satpol PP. Saking seringnya razia, sampai anak punk kapok masuk Sragen.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

“Dasarnya ada peraturan daerah dan Undang-undang Lalu Lintas. Dalam penegakan aturan itu, kami berkolaborasi dengan Dinas Perhubungan (Dishub) Sragen. Di setiap lokasi persimpangan itu juga sudah kami pasang peringatan atau larangan untuk aktivitas PGOT, seperti memgemis, mengamen, bahkan berjualan,” ujar Kepala Satpol PP Sragen, Samsuri, kepada Solopos.com, Selasa (31/10/2023)..

Dia mengatakan larangan itu sudah dipasang dalam bentuk papan di setiap persimpangan, mulai dari Nguwer sampai Pilangsari. Bupati Sragen, Kusdinar Untung Yuni Sukowati, pun intensif mengawasi setiap persimpangan. Jika Bupati melihat badut atau pengamen beroperasi, biasanya langsung menghubungi Satpol PP.

“Teman-teman OPD [organisasi perangkat daerah] kalau mengetahui ada pengemis atau pengamen juga langsung menghubungi saya. Kami sendiri di Satpol PP juga rutin patroli keliling memantau di setiap persimpangan. Biasanya PGOT yang sering nekat itu di simpang empat Pilangsari. Saat petugas datang mereka lari. Begitu petugas pergi mereka kembali lagi,” jelas Samsuri.

Satpol PP akan menyita alat-alat yang dipakai para PGOT yang terjaring razia. Begitu saja terkadang masih ada pengamen yang nekat kembali dengan cara kucing-kucingan. “Khusus pengamen di pasar atau di kampung-kampung masih ditoleransi, karena mereka juga mencari makan. Kalau anak punk sudah jinjo atau kapok masuk Sragen. Apalagi yang mengamen model manusia silver tidak ada di Sragen,” jelasnya.

Samsuri menjelaskan anak-anak punk kapok beroperasi di Sragen karena akan langsung digunduli begitu saat terjaring razia. Tak cuma itu, mereka juga akan dibawa ke rumah singgah bersama orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).

Satpol PP tidak hanya melakukan patroli di wilayah kota, namun juga sampai Gemolong hingga Gondang.

Salah seorang pengemis berkostum badut yang terjaring razia di simpang empat Terminal Lama Sragen, Selasa siang, Kur, 50, mengaku baru kali pertama beroperasi. Pria asal Ngrampal, Sragen itu biasanya mengamen di Pasar Bunder.

“Sebelumnya bekerja mencari rosok. Hasilnya sebulan hanya Rp100.000. Mencari rosok itu saya lakukan sambilan karena kadang bekerja sebagai buruh tani. Kemudian mengamen di pasar dan hasilnya tak banyak. Saya hanya modal pakai topi badut yang dibeli Rp5.000 dan beli tape recorder yang dibeli Rp60.000 baru kemarin sore,” ujarnya.

Kur diminta membuat pernyataan tidak mengamen lagi lalu kemudian diminta pulang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya