SOLOPOS.COM - Suasana Pantai Nampu, Paranggupito, yang dipenuhi pengunjung saat liburan. Para nelayan setempat selama ini dilarang sandar di pantai ini karena dinilai mengganggu wisatawan dan membuat kotor lingkungan. (JIBI/Solopos/Dok)

Pertanahan Wonogiri, sengketa tanah pesisir selatan Paranggupito hingga kini belum selesai.

Solopos.com, WONOGIRI — Masalah sengketa tanah pesisir seluas hampir 400 hektare (ha) di Kecamatan Paranggupito, Wonogiri, antara warga dengan pemiliknya, Perusahaan Batik Keris, sejak 1989 hingga 2017 belum ada solusi.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Pemerintah pusat melalui Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) turut turun tangan menangani masalah tersebut. Kepala Kantor ATR/BPN Wonogiri, Cahyono, saat ditemui wartawan di kantornya, Rabu (19/4/2017), menginformasikan tim dari Kementerian ATR/BPN terjun ke lokasi tanah sengketa mengklarifikasi data, awal pekan ini. (Baca:

Tim selanjutnya akan mengekspose untuk menentukan langkah berikutnya guna mengatasi persoalan di Paranggupito. Mantan Kepala Kantor ATR/BPN Klaten itu meminta semua pihak menunggu perkembangan penanganan dari pemerintah pusat.

“Yang jelas pusat [Kementerian ATR/BPN] sedang menangani masalah ini. Ditunggu saja nanti bagaimana hasilnya,” kata Cahyono yang belum genap sepekan memimpin Kantor ATR/BPN Wonogiri itu.

Dia melanjutkan secara keperdataan tanah tersebut milik Batik Keris karena perusahaan itu telah membelinya. Namun, hingga kini perusahaan belum mengajukan permohonan balik nama sertifikat. Artinya, tanah tersebut belum ada status haknya.

Sedianya Batik Keris memanfaatkan tanah itu sebagai kawasan wisata. Hingga kini tanah tersebut tak dimanfaatkan. Seiring berjalannya waktu sebagian besar pemilik lama menggarap lahan untuk pertanian.

Informasi yang dihimpun Solopos.com dari Pemerintah Kecamatan Paranggupito, masalah timbul karena pemilik lama merasa tanah mereka hanya dibeli dengan harga rendah tak sesuai harga pasaran. Harganya kurang dari Rp100.000/m2.

Warga melepaskan tanah mereka karena merasa ada tekanan. Kemudian warga meminta ganti rugi dan tak rela jika Batik Keris menyertifikatkan tanah tersebut. Warga menuntut tanah dikembalikan.

Ditanya memungkinkan tidaknya pemerintah menjadikan tanah itu berstatus tanah telantar agar selanjutnya dapat dimanfaatkan warga secara sah, Cahyono menjelaskan hanya tanah tak termanfaatkan dan memiliki status hak yang dapat dijadikan tanah telantar.

Hal itu sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 10/2011 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar. Di sisi lain, tanah pesisir Paranggupito belum ada status haknya lantaran sertifikat belum dibalik nama oleh pemiliknya.

Terpisah, Pelaksana Teknis Pemerintahan Kecamatan Paranggupito, Dwi Hartono, mengatakan hampir semua pemilik lama menggarap lahan yang telah dijual ke Batik Keris. Hal itu karena lahan tersebut tidak dimanfaatkan pemilik baru.

Hingga kini warga masih menunggu kejelasan penyelesaian masalah sengketa tersebut. Pemilik lama saat ini meminta tanah dikembalikan. Mereka tidak rela apabila Batik Keris menyertifikatkannya.

“Masalah ini ada sejak sangat lama. Dulu para pihak pernah duduk bersama cari solusi tapi tidak membuahkan hasil,” ulas dia.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya