SOLOPOS.COM - Kondisi lahan pertanian Ngijo, Karanganyar, yang terkena limbah penggilingan tebu. (Ponco Suseno/JIBI/Solopos)

Sekitar 50 hektare lahan pertanian di Ngijo, Karanganyar, menghitam gara-gara kena limbah penggilingan tebu.

Solopos.com, KARANGANYAR — Sekitar 50 hektare lahan pertanian di kawasan Ngijo, Karanganyar, teraliri limbah penggilingan tebu di Pabrik Gula (PG) Tasikmadu, Karanganyar, setiap tahunnya. Akibat aliran limbah tersebut, tanah pertanian di Ngijo berwarna hitam pekat.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Berdasarkan pantauan Solopos.com di lokasi, tanah pertanian di Ngijo yang berwarna hitam pekat karena tertumpuk abu hasil penggilingan tebu. Meski tergolong limbah, petani di kawasan Ngijo dan sekitarnya malah senang dan berharap abu dan sisa tetes tebu hasil penggilingan dapat dialirkan ke areal pertanian mereka.

“Setiap tahunnya, kami [Pemerintah Desa Ngijo] selalu meminta manajemen PG Tasikmadu agar mengalirkan limbahnya ke areal pertanian warga. Limbah itu sangat menguntungkan petani. Soalnya, petani dapat menghemat pengeluaran, terutama dapat menekan biaya penyedotan air,” kata Kepala Desa (Kades) Ngijo, Suwarso, saat ditemui Solopos.com, di kantornya, Selasa (14/11/2017).

Suwarso mengatakan 50-an hektare yang teraliri limbah penggilingan tebu setiap tahunnya itu berada di bagian barat PG Tasikmadu. Limbah yang mengalir melalui saluran irigasi itu bermuara ke Sungai Njongkang kurang lebih satu kilometer dari PG Tasikmadu.

“Kali terakhir, musim giling di PG Tasikmadu sekitar dua bulan lalu. Limbah penggilingan tebu itu membuat tanah di sawah petani awet anyep. Hal itu berdampak positif ke pertumbuhan tanaman padi. Para petani tak perlu repot-repot menggunakan pompa air setiap hari di musim kemarau,” katanya.

Suwarso mengatakan aliran limbah penggilingan PG Tasikmadu juga dapat menghemat pengeluaran saat memproduksi tanaman padi. Biaya yang dihemat petani hingga mencapai jutan rupiah. “Di musim tanam saat ini [MT III], biaya operasional itu mencapai Rp6 juta per patok [3.000-an meter persegi]. Hampir separuh biaya untuk memenuhi kebutuhan air. Bisa dibayangkan kalau tak ada aliran limbah dari PG Tasikmadu, biaya penyedotan air bisa lebih tinggi lagi. Saat ini, hasil yang diperoleh petani rata-rata senilai Rp12 juta per patok,” katanya.

Salah satu petani di Ngijo, Sugimin, 53, mengakui limbah penggilingan PG Tasikmadu dapat menghemat biaya pemupukan dalam satu kali musim tanam (MT). “Pengalaman saya, satu patok tanaman padi di sini membutuhkan 3 kuintal pupuk. Hal ini beda dengan sawah yang tak dialiri limbah hasil penggilingan tebu yang memerlukan pupuk hingga empat kuintal per MT,” katanya.

Hal senada dijelaskan Ketua Gapoktan Tani di Ngijo, Sumirat. Limbah penggilingan tebu tak memengaruhi kesuburan tanah. “Di areal yang dialiri limbah masih ada cacing dan belutnya,” katanya.

Selain Ngijo, areal pertanian yang dialiri limbah penggilingan tebu PG Tasikmadu, yakni Buran, Nangsri, dan Karangmojo. “Salah satu keuntungan teraliri limbah penggilingan tebu, yakni kondisi tanah awet anyep,” kata salah satu petani di Buran, Ngatmin, 42.

Administratur PG Tasikmadu, Teguh Agung Tri Nugroho, mengatakan setiap pengelolaan limbah selalu dikoordinasikan dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Karanganyar. “Biasanya, blotong-nya dimanfaatkan sebagai bahan organik. Abunya dipakai masyarakat untuk campuran pembuatan bata,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya