SOLOPOS.COM - Anggota Kelompok Wanita Tani Ngupoyo Bogo merawat vertical garden yang dikembangkan di Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) di RT 004/RW 003 Kestalan Banjarsari, Minggu (6/3/2016). (Chrisna Chanis Cara/JIBI/Solopos)

Pertanian Kota bisa dilakukan dengan cara menanam sayuran secara vertical garden.

Solopos.com, SOLO – Sebuah vertical garden di gang kecil selebar 4 meter menyambut solopos.com, saat memasuki kawasan RT 004/RW 003 Kestalan, Banjarsari, Minggu (6/3/2016). Deretan daun bawang atau loncang terpasang berderet memanfaatkan bekas air minum kemasan. Setiap instalasi sayuran berisi lima botol air minum yang dipasang berundak dengan tali tambang sebagai pengait.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Setiap hari Ning Dyah rutin menyiram sayuran yang berada di gang depan rumahnya. Tak hanya loncang, sayuran seperti selada, sawi Jepang, bayam merah, kembang kol hingga kenikir menghiasi dinding sekitar gang. Semua sayuran di Kestalan dikembangkan secara organik, tanpa pestisida. Pagi itu Ning menyirami sawi yang siap panen dengan gembor warna hijau.

“Harus rutin dicek agar sayuran tetap segar. Apalagi ini musim hujan, hama lebih mudah menyebar,” ujarnya saat berbincang dengan solopos.com.

Inilah potret Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) yang dikelola Kelompok Wanita Tani (KWT) Ngupoyo Bogo Kestalan. Bermodalkan semangat, kampung yang dulu identik dengan kawasan esek-esek ini tumbuh menjadi “kebun hijau” yang memberdayakan warga. Di sepanjang Gang Kalimantan RT setempat, tanaman sayuran maupun buah seperti belimbing berjejer di sisi jalan lingkungan.

Warga memanfaatkan barang bekas kotak kayu tempat buah, pralon, tong hingga bungkus minyak goreng sebagai tempat menanam. Beberapa hotel atau penginapan juga memajang sayuran di halaman. “Kami meminta OB [office boy] ikut menyirami tanaman,” ujar Ning Dyah, Ketua KWT Ngupoyo Bogo.

Pengembangan lahan hijau yang dibangun sejak tahun 2013 ini tak semulus daun selada di kebun warga. Minimnya hunian membuat hanya segelintir kepala keluarga (KK) yang ikut merawat kawasan. Tercatat hanya sekitar 13-15 kepala keluarga (KK) aktif menghidupi KRPL. Pengembangan hotel dan penginapan yang masif membuat hunian tersisih dari kawasan itu.

“Rumah saya saja dikelilingi hotel,” ujar Ning sambil menunjuk bangunan di selatan dan barat rumahnya.

Meski kembang kempis, KWT Ngupoyo Bogo mampu menghasilkan produk sayuran yang layak jual. Tak jarang komunitas atau warga perseorangan membeli sayur mayur milik anggota KWT. Warga rata-rata tertarik membeli saat melintas di lahan KRPL.

“Terakhir ibu-ibu Kopassus membeli sayuran dan empon-empon senilai Rp300.000,” ujar Yohana Wuri Endarwati,
Bendahara KWT Ngupoyo Bogo.

Setahun terakhir Ngupoyo Bogo mengoptimalkan sayuran yang ditanam dengan mengolahnya menjadi produk seperti keripik. Beragam sayuran organik seperti pare, kenikir, bayam hingga sawi diolah menjadi snek yang renyah. Keripik pare bahkan sudah mengantongi sertifikat MUI dan dijual di sejumlah toko.

“Terakhir kami mengembangkan sirup dari bahan dasar belimbing. Meski baru, ternyata cukup laris. Ibu-ibu biasa memborong saat ada pertemuan,” ujar Yohana tentang sirup yang dibanderol Rp8.000-Rp15.000 itu.

Yohana berharap keberadaan KRPL mampu memupus stigma kawasan yang identik dengan pelacuran. Yohana mengakui sampai sekarang praktik itu masih ada. Menurut Ning Dyah, warga berupaya melibatkan pekerja seks komersial (PSK) di wilayah setempat untuk merawat lahan hijau.

“Ada satu-dua yang tertarik. Mereka rata-rata sudah berusia sepuh. Kalau yang muda biasanya cuek,” tutur Ning.
Tantangan warga tak berhenti di situ.
Beberapa waktu lalu, sejumlah tanaman dirusak warga luar kampung yang tak suka dengan sikap anggota KWT. Sayur-mayur tersebut diberi cairan seperti bensin hingga mati.

“Kami sering usil [menegur PSK agar tak mangkal sembarangan], akhirnya tanaman kami yang jadi sasaran. Padahal waktu itu subur-suburnya, sudah mulai berbuah,” ucap Ning sambil tersenyum.

Ngupoyo Bogo juga sempat kemalingan sayuran dalam jumlah banyak. Sayuran itu sebelumnya ditaruh di sepanjang jalan pinggir Kali Pepe. Namun, kendala-kendala tersebut tak merintangi upaya ibu-ibu untuk terus bertani.

“Meskipun kondisi kampung kami kayak gini, setidaknya ada yang bisa dibanggakan,” ujar Yohana.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya