Soloraya
Jumat, 11 Maret 2016 - 06:30 WIB

PERTANIAN SRAGEN : Panen Berlimpah, Petani di Sragen Ini Tetap Gundah

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Para buruh tadi mengais sisa gabah di bawah cerobong pembuangan jerami dari mesin perontok padi (power thresher) saat panen padi di Desa/Kelurahan Sidoharjo, Sragen, Kamis (10/3/2016). (Tri Rahayu/JIBI/Solopos)

Kesejahteraan petani di Sragen masih belum dirasakan secara merata.

Solopos.com, SRAGEN – Suara mesin power thresher (perontok padi) bergemuruh. Seorang buruh tani sibuk memasukan padi ke dalam tabung perontok. Jerami menyebul keluar dari cerobong pembuangan sementara gabah keluar dari lubang di sisi lainnya yang langsung ditangkap sak.

Advertisement

Di bawah cerobong pembuangan jerami itu ada tiga orang perempuan buruh tani. Tubuh mereka nyaris tertimbun sebulan jerami yang tak beraturan itu. Merekalah yang mengadu nasib mencari sisa gabah yang tersisa di jerami-jerami itu.

Sebanyak tujuh buruh tani lainnya hilir mudik dari sawah ke lokasi thresher dengan memanggul setumpuk potongan padi. Bibit, 65, tengkulak lokal asal Dukuh Karangmanis, Pandak, Sidoharjo bertransaksi dengan petani asal Dukuh Gabusan RT 001/RW 011, Desa Tangkil, Sragen Kota, Iban, 60. Lelaki tua itu menawarkan padi kepada Bibit agar dibeli dengan harga Rp3.700/kg.

Advertisement

Sebanyak tujuh buruh tani lainnya hilir mudik dari sawah ke lokasi thresher dengan memanggul setumpuk potongan padi. Bibit, 65, tengkulak lokal asal Dukuh Karangmanis, Pandak, Sidoharjo bertransaksi dengan petani asal Dukuh Gabusan RT 001/RW 011, Desa Tangkil, Sragen Kota, Iban, 60. Lelaki tua itu menawarkan padi kepada Bibit agar dibeli dengan harga Rp3.700/kg.

Iban menggarap enam patok sawah berukuran 3.200 m2/patok. Iban tak memiliki sawah sendiri. Ia menyewa sawah garapan itu per patok senilai Rp13 juta per tahun. Padi di salah satu sawahnya di wilayah Desa Tangkil laku dengan harga gabah kering panen (GKP) Rp3.400/kg atau Rp9,18 juta sepekan lalu.

“Harga itu relatif tinggi karena hasil panennya mencapai 2,7 ton per patok. Untuk padi milik petani lainnya ada yang hanya laku Rp7 juta per patok. Kalau musim penghujan memang harga gabah jatuh. Saat kemarau harga gabah bisa naik sampai Rp10 juta-Rp11 juta/patok, tetapi biaya sedot airnya juga membengkak,” ujar Iban saat berbincang dengan solopos.com, Kamis (10/3/2016).

Advertisement

“Kalau dihitung-hitung ya rugi. Kalau tanpa sewa lahan, ya saya bisa untung Rp4,22 juta. Keuntungan itu untuk menutup biaya sewa lahan saja masih kurang. Ya, begini nasib petani,” katanya.

Kendati pendapatan tinggi tetapi ternyata tak mampu menutup biaya produksi pada musim penghujan. Iban bisa menutup kerugian di musim penghujan itu dengan hasil panen di musim kemarau. Harga gabah pada musim kemarau, kata dia, bisa sampai Rp4.000/kg sehingga hasilnya bisa sampai Rp11 juta per patok.

“Saat itu, kami baru bisa bernafas lega karena balik modal dan ada kelebihan sedikit,” ujarnya.

Advertisement

Bibit sebagai tengkulak lokal juga tak mau rugi. Untuk membeli gabah petani harus melihat kualitas dan harus dihitung dengan cermat. Salah menghitung sedikit saja akan berdampak kerugian bagi Bibit. Perempuan tua itu berani berspekulasi utang di bank untuk modal usaha.

“Baru saja saya beli gabah petani di Sidoharjo senilai Rp5,1 juta per patok. Selain itu saya juga baru beli gabah petani di Jabanan, Sidoharjo dengan harga Rp3,35 juta karena kualitas padinya buruk. Padinya diserang hama penggerek batang dan roboh semua. Saya paling hanya bisa hasil Rp1,2 ton per patok. Dengan kondisi itu ya petani pasti rugi besar karena tomboknya banyak,” katanya.

Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Sragen, Suratno, juga menganalisis usaha tani para petani padi di Sragen. Petani pemilik lahan, kata dia, bisa untung sampai Rp4 juta per patok. Keuntungan besar hasil panen itu bila dikonversi ke penghasilan bulanan hanya Rp1 juta per bulan atau masih di bawah upah minimum kabupaten (UMK) buruh pabrik.

Advertisement

“Apalagi bila petani masih dibebani dengan sewa lahan ya bisa jadi merugi. Kesejahteraan petani inilah yang tidak dipahami pemerintah. Bagaimana pemerintah memperhatikan nasib petani bila kondisinya seperti itu. Kuncinya terletak pada harga pembelian pemerintah (HPP) itu memang harus dinaikkan sampai Rp4.200/kg dan subsidi pupuk murni kepada petani,” kata Suratno saat ditemui solopos.com di Sragen.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif