SOLOPOS.COM - Ilustrasi pertanian (Solopos/M. Aris Munandar)

Solopos.com, WONOGIRI — Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Wonogiri menilai batas atas harga gabah kering panen (GKP) yang ditetapkan Badan Pangan Nasional (Bapanas) sangat merugikan petani. Di sisi lain, kondisi petani yang hampir tidak pernah untung besar akan sulit membangun regenerasi petani.

Ketua KTNA Wonogiri, Dwi Sartono, kepada Solopos.com, Selasa (7/3/2023), mengatakan harga GKP di Wonogiri sempat menyentuh Rp6.000/kg pada beberapa pekan lalu. Namun, ketika memasuki musim panen saat ini harga gabah malah turun drastis menjadi Rp4.200/kg.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Menurut Dwi, selain karena musim panen, anjloknya harga gabah di Wonogiri juga dipengaruhi sentimen negatif dari penentuan batas atas harga GKP di tingkat petani oleh Bapanas senilai Rp4.550/kg. “Posisinya sekarang dilematis. Satu sisi dengan harga segitu, petani merugi. Tapi kalau harganya kayak kemarin [Rp6.000/kg] harga beras juga naik tinggi,” kata Dwi.

Dwi memberikan analisis sederhana. Lahan sawah seluas satu hektare (ha) memiliki potensi hasil panen padi maksimal sebanyak 8 ton. Tetapi petani di Wonogiri rata-rata hanya memiliki lahan sawah seluas 0,5 ha. Lahan seluas itu paling sedikit membutuhkan biaya produksi Rp11,1 juta/tanam.

Biaya tersebut di antaranya untuk olah tanah, benih, pupuk, obat, dan lainnya. Hasil produksi padi dari lahan seluas itu bisa mencapai Rp16,8 juta. Dengan begitu, petani hanya mendapatkan penghasilan senilai Rp5,7 juta.

“Satu kali masa tanam itu hampir empat bulan. Artinya petani hanya dapat Rp1,4 juta/bulan. Ini belum dihitung risiko-risiko lain,” ujar dia. Ketua KTNA Wonogiri itu berharap Bapanas bisa menaikkan batas atas harga gabah kering panen di tingkat petani.

Dengan menaikkan batas atas, harga GKP akan turut naik. Menurutnya, harga ideal GKP di tingkat petani Rp4.800/kg-RpRp5.000/kg. Oleh karena itu, Bapanas harus menaikkan harga batas atas GKP di tingkat petani lebih dari Rp5.000/kg.

Dwi menyebut masalah petani padi termasuk di Wonogiri dari dulu sampai sekarang selalu berulang yaitu harga gabah yang murah. Hal itu membuat penghasilan petani tidak pernah cukup menyejahterakan mereka.

Kondisi itu bukan hal yang sepele karena bisa berdampak panjang, salah satunya kalangan anak muda tidak tertarik untuk menjadi petani. Regenerasi petani menjadi terhambat karena para pemuda melihat pertanian bukan menjadi sektor yang menguntungkan.

“Kalau kondisi ini dibiarkan jangan berharap ada regenerasi petani di Wonogiri. Kecuali kalau bertani hanya sebagai pekerjaan sampingan,” jelasnya.

Sementara itu, data Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu (DPMPTSP) Wonogiri, jumlah usaha pertanian tanaman dan yang berhubungan dengan itu di Wonogiri sampai triwulan III 2022 sebanyak 8.409 usaha dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 18.248 orang.

Jumlah usaha dan tenaga kerja di sektor itu selalu masuk dua teratas dibandingkan sektor-sektor lain.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya