SOLOPOS.COM - Petani membajak sawah menggunakan traktor roda empat di area persawahan Desa Singodutan, Selogiri, Wonogiri, Selasa (12/12/2023). (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRI — Masa depan pertanian Wonogiri terancam menyusul masih minimnya jumlah generasi milenial atau anak muda yang menjadi petani. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian (ST) 2023 yang dilakukan BPS, jumlah petani milenial Kota Sukses baru 8,5% dari total 197.508 petani.

Besarnya modal usaha yang dibutuhkan untuk bertani dan ketidakpastian harga jual komoditas pertanian yang dihasilkan menjadi tembok penghalang bagi para pemuda untuk menjadi petani. Banyak sebenarnya anak muda Wonogiri yang punya keinginan menjadi petani, namun berbagai kendala yang sulit dihadapi membuat mereka patah semangat.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Ginyong, 27, salah satunya. Pemuda lulusan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo langsung terjun menjadi petani setelah lulus kuliah beberapa tahun lalu. Laki-laki asal Kecamatan Eromoko, Wonogiri, itu mencoba mempraktikkan ilmu yang dia dapatkan di perguruan tinggi dengan menjadi petani di desanya.

Lahan seluas 2.000 meter ia sewa seharga Rp10 juta/tahun untuk menanam bawang merah. Modal yang dikeluarkan petani milenial Wonogiri itu untuk membeli bahan tanam seperti bibit, pupuk, dan bedengan lebih kurang Rp10 juta juga.

Modal itu belum termasuk menghitung biaya tenaga. Sayangnya, dia belum bisa panen dengan hasil optimal. Alih-alih untung, hasil usaha pertaniannya justru buntung. Ia terpaksa menghentikan usaha pertaniannya sebab tidak balik modal.

Ginyong menyebut masalah yang kerap dihadapi para milenial di Wonogiri yang ingin terjun menjadi petani adalah akses penguasaan lahan. Banyak pemuda, termasuk dia, yang sebenarnya ingin bertani tetapi tidak memiliki lahan pertanian.

Alhasil, perlu modal lebih hanya untuk sewa lahan. Padahal sebagai pemula, tentu belum punya banyak modal. Belum lagi modal untuk bahan tanam dan bayar tenaga.

Menurutnya, berdasarkan hitungan kasar, minimal lahan usaha pertanian hortikultura itu sekitar 2.000 meter persegi. Di lahan seluas itu dan dengan modal tanam Rp10 juta seharusnya bisa mendapatkan omzet Rp15 juta-Rp20 juta sekali panen setiap tiga-empat bulan.

Harga Komoditas Tak Stabil, Petani Rentan Merugi

“Kalau itu lahan milik sendiri, masih bisalah dapat untung. Tetapi kalau lahan sewa, sulit sekali [dapat untung]. Itu belum bayar upah tenaga pertaniannya. Lahan seluas itu cukup kewalahan untuk dikerjakan sendiri,” kata Ginyong kepada Solopos.com, Jumat (15/12/2023).

Kendala lain yang dihadapi petani milenial Wonogiri, sambungnya, yakni tidak ada kepastian harga jual komoditas pertanian di pasaran. Hal itu mengakibatkan seolah petani bermain judi. Petani sangat rentan merugi ketika tidak ada kestabilan harga karena mereka tidak bisa membuat perhitungan.

Kondisi seperti itu tentu sangat berat bagi petani muda yang belum mempunyai banyak modal. Ginyong juga menyampaikan lahan pertanian di Wonogiri, terutama di wilayah selatan cukup sukar dikembangkan untuk usaha pertanian.

Banyak lahan pertanian yang sulit mendapatkan akses air, salah satunya di lahan pertanian milik orang tuanya di Eromoko. Perlu biaya tambahan bagi petani di sana untuk mengairi lahan pertanian saat kemarau.

“Pernah saya tanam cabai di Eromoko belum lama ini, cost-nya tinggi. Sekarang saya belum lagi mulai terjun langsung jadi petani. Tetapi masih beberapa kali jual bibit tanaman, sedikit-sedikit. Jujur saja, saya masih punya keinginan besar untuk jadi petani. Usaha pertanian itu sebenarnya menguntungkan. Tetapi ya itu, asal punya lahan sendiri,” jelasnya.

Pernyataan Ginyong itu sejalan dengan kondisi pertanian di Wonogiri. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian (ST) 2023 Tahap I Badan Pusat Statistik (BPS) Wonogiri, jumlah petani milenial usia 19–39 tahun di Kota Sukses hanya 16.779 orang atau 8,5%.

Sementara jumlah petani berusia lebih dari 45 tahun sebanyak 83,58%. Di sisi lain, kepemilikan lahan pertanian oleh petani di Wonogiri semakin menyempit dari tahun.

Kepala BPS Wonogiri, Rahmad Iswanto, menyatakan jumlah total petani di Wonogiri sebanyak 197.508 orang. Dari jumlah itu sebanyak 151.265 atau 77% adalah petani gurem. Petani gurem adalah petani yang mengelola atau menguasai lahan pertanian kurang dari 0,5 hektare (ha).

Butuh Intervensi Pemerintah

“Artinya setiap 100 petani di Wonogiri, sebanyak 77 di antaranya adalah petani gurem. Mereka hanya mengelola sedikit lahan pertanian,” kata Rahmad kepada Solopos.com, Rabu (13/12/2023).

Menurut Rahmad, jumlah petani gurem itu bertambah 15.163 orang selama sepuluh tahun terakhir. Peningkatan jumlah petani gurem karena para petani di Wonogiri menerima warisan lahan pertanian. Orang tua petani membagi warisan lahan pertanian kepada anak-anaknya.

Misalnya orang tua petani semula mempunyai satu ha lahan sawah, kemudian membagi rata kepada tiga-empat anaknya, sehingga masing-masing anak hanya memiliki dan mengelola maksimal 0,25 ha saja.

Rahmad menyampaikan jika masalah ini tidak segera teratasi, regenerasi petani di Wonogiri akan sulit dilakukan. Tingkat kesejahteraan petani pun sulit meningkat. Ia menyebut salah satu yang menjadi momok para petani termasuk kalangan milenial di Wonogiri adalah ketidakstabilan harga komoditas.

Pemerintah perlu mengambil kebijakan yang bisa mengatasi fluktuasi komoditas pertanian yang terlalu tinggi. “Mulai tahun depan, kami punya data inflasi komoditas strategis pertanian. Itu bisa menjadi data pemerintah untuk mengatur ekosistem perniagaan komoditas barang pertanian,” ungkapnya.

Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Wonogiri, Dwi Sartono, juga mengatakan tanpa campur tangan pemerintah, sulit untuk melakukan regenerasi petani di Wonogiri. Apalagi tidak ada jaminan harga komoditas pertanian.

Menurutnya, yang dibutuhkan petani adalah peta pertanian. Misalnya, jika dalam periode tertentu suatu daerah telah menanam satu produk tanaman, maka pemerintah memberi informasi kepada petani di Wonogiri untuk tidak menanam tanaman yang sama.

“Selama ini kan tidak seperti itu. Tidak ada rekomendasi bagi petani untuk menanam komoditas apa. Padahal pemerintah kan bisa tahu daerah A menanam apa, daerah B tanam apa. Kemudian jangan suruh kami tanam tanaman serupa dengan daerah itu. Soalnya pasti nanti harganya jeblok. Peta pertanian itu penting,” jelas Dwi.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya