Soloraya
Sabtu, 21 Mei 2022 - 14:37 WIB

Petani Milenial Sukoharjo: Hasil Panen Bisa untuk Healing dan Perawatan

Magdalena Naviriana Putri  /  Rohmah Ermawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Petani milenial di Kadilangu, Baki, Sukoharjo, Anita Safitri, 26, menanam padi di sawah. (Istimewa-dok Anita Safitri)

Solopos.com, SUKOHARJO — Prospek usaha tani cukup menjanjikan jika digeluti secara telaten dan serius oleh generasi muda atau petani milenial. Salah seorang petani milenial di Kadilangu, Baki, Sukoharjo, Anita Safitri, 26, mengatakan generasi muda tidak perlu takut menjadi petani.

“Pesan untuk anak muda di luar sana apalagi yang masih muda dan orang tuanya punya modal. Ayo kita terjun di sawah, tidak usah malu, kalau kita sebagai petani milenial hasilnya juga bisa untuk healing kalau kata anak muda sekarang. Lagian kalau takut hitam dan takut kotor kan hasil dari panenan bisa buat mempercantik [diri],” katanya sambal tertawa saat ditemui Solopos.com di sawah, Sabtu (21/5/2022).

Advertisement

Perempuan yang juga Sekretaris Desa atau Carik di Kadilangu, Baki, itu mengatakan lahan yang dikelolanya merupakan tanah bengkok dengan luas tanah sekitar dua hektare. Lokasinya tepat di belakang Kantor Desa Kadilangu. Dia juga memiliki lahan pribadi kurang lebih satu hektare yang letaknya tidak jauh dari tanah bengkok tersebut.

Anita mengatakan banyak anak muda yang memiliki stigma kurang baik terhadap petani. Padahal menurutnya, petani juga memiliki masa depan. Bahkan petani milenial kini tak harus terjun ke sawah. Ada banyak kegiatan bisa dilakukan untuk mengoptimalkan usaha pertanian, salah satunya bidang pemasaran.

Advertisement

Anita mengatakan banyak anak muda yang memiliki stigma kurang baik terhadap petani. Padahal menurutnya, petani juga memiliki masa depan. Bahkan petani milenial kini tak harus terjun ke sawah. Ada banyak kegiatan bisa dilakukan untuk mengoptimalkan usaha pertanian, salah satunya bidang pemasaran.

Mindset anak muda itu kalau bertani harus turun [ke sawah], padahal kan tidak harus kotor-kotoran, ya kemarin sempat ikut [menanam padi] misal kalau libur. Turun [ke sawah], ikut menanam, ya hitung-hitung olahraga kalau pagi itu kan seger. Sekarang jual beras aja bisa lewat online,” katanya.

Baca juga: Sukoharjo Targetkan Cetak 1.000 Petani Milenial Tahun Ini

Advertisement

Anita mengatakan tergerak menjadi petani milenial karena diri sendiri, lantaran kedua orang tuanya tidak ada yang menjadi petani. Saat ini dia mempekerjakan empat orang untuk menggarap sawah. Sedangkan dirinya cukup melakukan monitoring dan pemasaran.

“Saya tidak sering ikut terjun menanam, saya sebagai manajer jadi saya ikut memasarkan, memberi modal, dan mengatur modalnya akan diputar seperti apa,” jelasnya. Selama lima tahun bertani, dia mengatakan hasil yang didapat cukup menjanjikan.

Baca juga: Ubah Stigma, Petani Milenial Sukoharjo Rambah Pemasaran Digital

Advertisement

Bahkan dia menyebut menjadi petani tidak merugikan, justru setiap empat bulan sekali dia merasakan masa panen. Saat ini komoditas yang dia tanam seluruhnya merupakan padi dengan jenis Inpari 32.

Teknologi Mempermudah Pekerjaan

Secara terpisah, penggarap lahan milik Anita, Warsito, 76, mengaku optimistis dengan regenerasi petani mendatang. “Sakniki generasi muda pun mboten enten, tinggal sing sepuh-sepuh. Nyambut damel liyane nggih gampil. Benjing petani tetep enten, mriki do wegah mangkeh pados tiyang tebih nggih enten [Sekarang ini generasi muda sudah tidak ada [yang mau bertani], tinggal yang tua-tua. Bekerja di tempat lain lebih mudah. Ke depan petani tetap akan ada, kalau di sini [anak muda] tidak mau nanti mencari di luar daerah juga pasti ada yang mau],” katanya saat ditemui di pematang sawah setempat.

Selama sepuluh tahun menggarap sawah, dia mengatakan saat ini dipermudah dengan kehadiran tekonologi. Dia mengaku hanya perlu mencangkul dan memberi pupuk serta menghilangkan hama yang ada. Sisanya pekerjaan lain bsai dikerjakan menggunakan mesin.

Advertisement

Baca juga: Petani Milenial Sukoharjo Go Digital, Pohon Alpukat Dipasangi Barcode

Selama menggarap lahan tanah bengkok dia menyebut hasil setiap panen tiap patok sawah berbeda-beda tergantung kesuburan tanah. Empat patok tanah tersebut ada yang menghasilkan Rp6 juta-Rp8 juta setiap masa panen.

“Petani nggih terus nyambung, ning nek enten proyek kathah nggih mboten saget tandur. Ning nggih kedah lapor kelurahan lahan kuning lahan hijau. Ngoten kan enten peraturane nek sak-sak e nggih mboten saget. [Petani ya terus berlanjut, tetapi jika ada banyak proyek [pembangunan perumahan] juga tidak bisa menanam. Tapi [proyek] juga harus melapor ke kelurahan berkaitan dengan lahan kuning atau hijau. Seperti itu kan ada peraturannya, semaunya juga tidak bisa],” katanya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif