SOLOPOS.COM - Kuasa Hukum Direktur PT Jannas, Gatot Sucipto, 59 dari kiri: Andry Fajar Yunanto, Christiansen Aditya, dan Suparno saat ditemui seusai pembacaan putusan Praperadilan di PN Sukoharjo pada Kamis (15/6/2023). (Solopos.com/Magdalena Naviriana Putri)

Solopos.com, SUKOHARJO – Kasus impor sarung tangan karet yang melibatkan pengusaha asal Gatak, Sukoharjo, yang juga Direktur PT Jannas, Gatot Sucipto, 59, memasuki babak baru. Sidang praperadilan yang diajukan oleh kuasa hukumnya dengan dua tuntutan tak seluruhnya dikabulkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Sukoharjo dalam sidang putusan yang dibacakan Kamis (14/6/2023) di Kantor PN Sukoharjo.

Meski telah bebas atas tuduhan barang impornya yang dianggap limbah sesuai putusan peradilan Nomor 67/Pid.B/LH/2022/PN Skh itu. Gatot melalui kuasa hukumnya, Christiansen Aditya, Suparno dan Andry Fajar Yunanto dari Kantor Advokat Christiansen Aditya I B, S.H M.H & Partners membeberkan adanya penerapan hukum yang salah. Menurut mereka, kliennya merasa dirugikan secara material dan imaterial. Atas dasar itu pihaknya kemudian mengajukan permohonan ganti kerugian dengan cara praperadilan di PN Sukoharjo.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Mereka mengajukan tuntutan untuk menetapkan Termohon I (PPNS KLHK) dan Termohon II (Kejaksaan Negeri Sukoharjo) telah melakukan kekeliruan dalam penerapan hukum terhadap Pemohon (Gatot). Atas tindakan tersebut menurut hukum Penetapan Tersangka dan Penahanan yang dilakukan oleh Termohon I dan Termohon II telah mengakibatkan kerugian secara materiil dan secara moral bagi Pemohon.

Untuk itu mereka menuntut hakim menghukum para Termohon untuk membayar kerugiaan materiil yang diderita Pemohon sebesar Rp100 juta karena tindakan upaya paksa oleh Termohon I berupa Penetapan Tersangka, Penyegelan, Penyitaan dan wajib lapor dan tindakan penahanan oleh Termohon II terhadap diri Pemohon selama lima bulan. Pada tuntutan lain, ia meminta Hakim Menghukum Termohon I dan Termohon II secara tanggung renteng untuk mengganti harkat serta martabat Pemohon yang telah jatuh secara sosial maupun psikologis akibat kekeliruan Termohon I dan Termohon II sebesar Rp1 miliar.

Dengan memerintahkan kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia (sebagai termohon III) untuk melakukan pembayaran ganti kerugian kepada Pemohon dalam waktu paling lama 14 hari kerja sejak penetapan diterima dan membebankan biaya perkara kepada Negara. Suparno menjelaskan dalam putusan sidang Praperadilan tersebut Majelis Hakim hanya mengabulkan sebagian permohonan, sementara permohonan ganti rugi yang dituntutnya tidak dikabulkan.

“Permohonan ganti rugi tidak dikabulkan. Meskipun kami bisa membuktikan bahwa klien kami jelas mengalami kerugian, karena sarung tangan karet sebagai barang bukti itu disita dan kini menjadi rusak. Akibatnya bisnis sarung tangan karet menjadi tidak bisa berjalan,” kata Suparno saat ditemui seusai pembacaan putusan Praperadilan tersebut.

Sementara itu Christiansen Aditya mengaku mengajukan Praperadilan lantaran termohon ingin mempidanakan kliennya dengan alat bukti yang tidak sah dan valid. Akibat kejadian tersebut menurutnya, usaha kliennya itu dirugikan bahkan nilainya mencapai Rp1 miliar.

Meski begitu, Aditya dan Suparno menghargai putusan majelis hakim atas putusan PPNS KLHK dan Kejaksaan Negeri Sukoharjo yang telah melakukan kekeliruan penerapan hukum dalam penuntut terhadap Gatot.

“Kami sangat menghormati putusan hakim. Tidak ada upaya hukum lagi. Namun, upaya ini sebagai pemacu supaya aparat hukum baik penyidik di kepolisian, penyidik PPNS ataupun Kejaksaan harus lebih berhati-hati lagi dalam melakukan penyidikan,” kata Aditya.

Terpisah, Humas PN Sukoharjo Deni Indrayana saat dikonfirmasi membenarkan telah digelar sidang putusan Praperadilan tersebut di PN Sukoharjo. Menurut Deni, garis besar putusannya yakni tuntutan ganti rugi ditolak. Kemudian, Termohon I dan II dinyatakan melakukan kekeliruan penerapan hukum dalam penuntut terhadap pemohon.

Seperti diketahui kasus tersebut bermula saat Bea Cukai Semarang memeriksa ulang bersama petugas dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Petugas KLHK saat itu memeriksa secara daring atau melalui video call. Sementara hasil pemeriksaan sarung tangan impor tersebut dituangkan dalam surat Direktorat Verifikasi Pengelolaan Limbah B3 dan non B3 pada 3 Feburari 2021. Sarung tangan impor itu dinyatakan bukan barang baru dan merupakan limbah non-B3.

Dengan surat tersebut kemudian Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) KKLH mengajukan perkara ini sampai di pengadilan. Namun rupanya dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak terbukti, dan Gatot diputus bebas. Namun Gatot sempat ditahan dengan dititipkan di Mapolsek Kartasura selama lima bulan.

Pria asal Desa Luwang, Kecamatan Gatak itu sempat diancam pasal 105 jo pasal 69 ayat (1) huruf c jo pasal 116 ayat (1) huruf b jo pasal 117 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya