SOLOPOS.COM - Warga yang tergabung dalam Sanggar Kebangsaan menggelar audiensi dengan Ketua DPRD dan Dinas Pendidikan di Gedung DPRD Klaten, Kamis (20/7/2023). (Solopos/Taufiq Sidik Prakoso)

Solopos.com, KLATEN — Warga yang tergabung dalam Sanggar Kebangsaan mendatangi Gedung DPRD Klaten, Kamis (20/7/2023) siang. Mereka menuntut solusi agar tidak ada lagi komersialisasi pendidikan dan meminta DPRD segera membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang Pendidikan.

Dalam pernyataan sikapnya, Sanggar Kebangsaan menjelaskan ada berbagai regulasi yang mengatur demi terselenggaranya pendidikan yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, Sanggar Kebangsaan menyebut ada fakta di lapangan masih banyak penyelenggara pendidikan yang tidak mematuhi aturan.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Sanggar Kebangsaan menyatakan sikap dan menuntut setop komersialisasi pendidikan, meminta ada alokasi dana pendidikan 20 persen dari APBD di luar gaji dan biaya kedinasan, serta penerbitan Perda tentang Pendidikan.

Sekelompok warga dengan jumlah sekitar 15 orang itu mendatangi DPRD Klaten sekitar pukul 13.00 WIB. Mereka ditemui Ketua DPRD, Hamenang Wajar Ismoyo, serta Kepala Dinas Pendidikan (Disdik), Titin Windiyarsih, beserta sejumlah Kabid dan staf Disdik, dan Dewan Pendidikan.

Sunarwan mengatakan dugaan jual-beli seragam serta LKS masih ditemukan di jenjang pendidikan dasar maupun menengah. Ada temuan dugaan jual-beli seragam seharga Rp1,1 juta terdiri dari sejumlah setel seragam.

Itu pun sebagian seragam masih berupa bahan atau masih harus dijahitkan lagi. Orang tua harus mengeluarkan biaya tambahan lagi untuk ongkos menjahit.

Selain dugaan jual-beli seragam, Sunarwan mengatakan ada dugaan pungutan seperti pada kegiatan study tour yang berganti nama menjadi literasi budaya. Pungutan-pungutan juga terjadi pada kegiatan ekstrakurikuler.

Regulasi Pengadaan Seragam Sekolah

“Kami ada bukti dan kami tidak mengada-ada. Memang riilnya seperti itu. Jadi aduan dari masyarakat dan temuan kami yang itu menjadi pegangan kami untuk disampaikan,” kata Sunarwan saat ditemui Solopos.com sebelum audiensi di DPRD Klaten.

Sunarwan menjelaskan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2010 menyebutkan pendidik dan tenaga kependidikan dilarang menjual seragam, buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan.

Kemudian Permendikbudristek No 50/2022 menyebutkan seragam menjadi tanggung jawab wali murid. Sunarwan juga menjelaskan Permendikbud No 44/2012 sudah jelas menyebutkan satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan pemerintah dan/atau pemerintah daerah dilarang memungut biaya satuan pendidikan.

“Tuntutan kami ya kembali ke aturan. Penyelenggara satuan pendidikan melaksanakan peraturan-peraturan yang sudah ada,” jelas dia.

Sunarwan membenarkan audiensi kerap dilakukan agar tak terjadi lagi jual-beli seragam maupun pungutan di satuan pendidikan yang diselenggarakan pemerintah. Namun, pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan-aturan tersebut masih kerap terjadi.

“Ini yang menjadi kekecewaan kami. Kenapa berulang kali melakukan hal seperti ini dan praktik jual beli penyimpangan masih terjadi,” kata dia.

Ketua DPRD Klaten, Hamenang Wajar Ismoyo, mengatakan sebelumnya Sanggar Kebangsaan mengirimkan surat untuk audiensi yang ditindaklanjuti dengan pertemuan pada Kamis siang. Dari pertemuan itu, Sanggar Kebangsaan menyampaikan sejumah temuan mereka berkaitan dengan dunia pendidikan.

20 Persen APBD untuk Pendidikan

“Di aturan itu memang seperti ambigu berkaitan seragam, LKS, study tour, dan lain sebagainya. Ada versi yang tidak membolehkan kemudian ada versi boleh tapi dengan seperti apa. Harapannya temuan-temuan dugaan pelanggaran tidak terjadi lagi,” kata Hamenang.

Soal permintaan agar DPRD Klaten menerbitkan Perda Pendidikan, Hamenang mengatakan akan mengkali terlebih dahulu termasuk belajar ke daerah-daerah yang sudah memiliki perda tersebut. “Kalau dirasa itu sangat urgen dan perlu, tidak masalah tahun depan akan dimasukkan ke Prolegda,” ujarnya.

Pada audiensi itu, Kepala Disdik Klaten, Titin Windiyarsih, membenarkan ada ketentuan terkait 20 persen anggaran pemerintah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan. Namun, 20 persen anggaran pemerintah belum bisa murni memenuhi semua aktivitas pembelajaran yang mendukung penyelenggaraan pendidikan.

Dia menjelaskan di Klaten single anggaran bersumber dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Jika bantuan itu belum bisa meng-cover 100 persen dari seluruh kebutuhan pembelajaran atau peningkatan mutu yang harus dilakukan di sekolah dan masih butuh dana pendamping, pada Permendikbud No 75/2016 ada peluang untuk menggali dana dari masyarakat asal ada rambu-rambu yang harus dipenuhi.

Titin menjelaskan sebelumnya sudah ada beberapa laporan dugaan pelanggaran di sekolah yang diterima Disdik dan sudah dilakukan klarifikasi kepada kepala sekolah bersangkutan.

“Sudah kami sampaikan supaya semua tidak melanggar dari regulasi yang ada. Sekolah tidak boleh otoriter, tidak boleh mengesampingkan satu suara pun yang itu keberatan dari peserta didik, orang tua didik, supaya bisa disikapi sebaik-baiknya,” kata Titin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya