SOLOPOS.COM - Ilustrasi kedelai. Susu kedelai menjadi salah satu produk yang diinginkan pengusaha Arab Saudi untuk diimpor. (Bisnis-Nurul Hidayat)

Solopos.com, SRAGEN — Produksi kedelai lokal di Sragen masih rendah berada di angka 3.400 ton per tahun dengan luas tanam sekitar 2.000 hektare. Sementara kebutuhan kedelai, terutama untuk kebutuhan konsumsi dan industri tahu tempe di Sragen mencapai 22.883,61 ton sehingga kekurangannya masih dicukupi dari kedelai impor.

Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (Distan & KP) Sragen Eka Rini Mumpuni Titi Lestari saat dihubungi Solopos.com, Selasa (18/5/2021), menyampaikan kedelai itu sebenarnya untuk kebutuhan bahan pangan.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Baca Juga: 8 Kali Berturut-Turut, Banjarnegara Raih WTP Terbaik Se-Jawa Tengah

Dia mengatakan kedelai lokal mestinya bisa menyubsisi kebutuhan kedelai impor yang biasanya digunakan para pelaku usaha industri tahu dan tempe di Sragen. Selama ini kebutuhan kedelai paling banyak lari ke sektor industri tahu dan tempe.

“Luas tanam kedelai di Sragen itu 1.500-2.000 hektare per tahun. Pada 2021 ini, kami mendapat bantuan bibit kedelai untuk luas tanam 1.200 hekatare. Dengan luas tanam 2.000 hektare dan tingkat produktivitas kedelai 1,7 ton per hektare itu maka produksi kedelai di Sragen itu bisa mencapai 3.400 ton. Angka itu masih jauh dari kebutuhan di Sragen sehingga masih dibutuhkan kedelai impor,” ujarnya.

Eka menerangkan kebanyakan petani di Sragen enggan menanam kedelai saat musim tanam ketiga atau musim kemarau karena hasil panennya tidak menjanjikan, mengingat harga panen hanya berkisar Rp6.000-Rp6.500/kg dengan pendapatan hanya Rp10 juta per hektare. Dia berpendapat petani lebih memilih menanam padi karena hasilnya menjanjikan karena bisa menghasilkan sampai Rp30 juta per hektare.

“Beberapa hari lalu, ada petugas BPPT [Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi] Semarang menawarkan adanya varietas baru untuk kedelai dengan butiran kedelai besar seperti kedelai impor. Varietas baru itu harapan bisa menjadi daya tarik petani untuk menanam dan mendongkrak harga panen tinggi. Dengan butiran besar itu juga diharapkan bisa menjadi pilihan para pengrajin tahu tempe sehingga mereka tidak bergantung pada kedelai impor yang harganya melambung,” jelas Eka.

Sementara Kabid Pembinaan dan Pengembangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sragen, Muh. Farid Wajdi, menyampaikan data kebutuhan kedelai di Sragen pada 2020 mencapai 22.883,61 ton per tahun. Bila produksi kedelai hanya 3.400 ton per tahun maka kekurangan kebutuhan kedelai itu mencapai 19.483,61 ton per tahun. Kekurangan itulah yang dipenuhi dengan adanya kedelai impor.

“Harga kedelai impor sekarang memang melejit sampai Rp11.000/kg. Mahalnya harga kedelai itu dipengaruhi oleh distribusi kedelai impor khususnya dari Amerika yang tersendat masuk ke Indonesia karena lebih banyak permintaan ke Tiongkok. Gejolak harga ini akan berdampak kemana-mana. Persoalannya target importir kedelai sering kali tidak tercapai sehingga stok kedelai menjadi terbatas sehingga harga melambung tinggi,” ujarnya.

Baca Juga: Duh, Tumpukan Pasir untuk Bangun Rumah di Kartasura Makan Korban

Farid menjelaskan bila ketersediaan kedelai melimpah maka otomatis hukum pasar harga akan bisa turun dan stabil. Dia menyadari banyak pengrajin tahu yang sambat dengan melejitkan harga kedelai. Dia mengatakan ketika harga masih Rp9.000/kg saja sudah sambat.

“Mereka menyiasati dengan mengurangi ukuran tahu dan dijual dengan harga sama. Sebenarnya dari Kementerian Perdagangan sudah mengimbau para importir kedelai untuk mengambil untung sedikit demi nasib warga di tingkat bawah,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya