Soloraya
Kamis, 6 Oktober 2022 - 19:41 WIB

Psikolog Dinsos Sebut Ibu Bunuh Anak Kemungkinan Alami Gangguan Jiwa

Tri Rahayu  /  Kaled Hasby Ashshidiqy  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi pembunuhan (Detik.com/Thinkstock)

Solopos.com, SRAGEN — Suwarni, 64, warga Dukuh Tlobongan RT 022, Desa Sidoharjo, Kecamatan Sidoharjo, Sragen, yang tega membunuh anak kandung secara psikologis memiliki keyakinan yang salah tentang nilai-nilai dan norma sosial di masyarakat. Menghukum anak dengan cara membunuhnya tidak sebanding dengan skala kesalahan anak yang sering mencuri dan membuat malu keluarga.

Penjelasan itu diungkapkan psikolog dari Dinas Sosial (Dinsos) Sragen, Anne Fatma, saat ditemui Espos di kantornya, Kamis (6/10/2022). “Secara psikologis, ibu ini [Suwarni] memiliki keyakinan yang salah dan berbeda dengan norma-norma yang ada di lingkungannya. Ditambah lagi rasa jengkel, emosi, sehingga melampiaskan kekesalannya kepada anaknya. Tindakannya itu dianggap benar tetapi ibu ini tidak tahu akibatnya, bahwa tindakan membunuh itu dilarang dan ada sanksi hukumnya,” jelas Anne.

Advertisement

Dia menerangkan kemungkinan rasa malu yang dominan karena sering mendapat laporan tindakan anaknya sehingga membuat pelaku jengkel dan emosi. Rasa jengkel yang memuncak itu mengakibatkan pelaku gelap mata kemudian berkeyakinan daripada bikin malu lebih baik dibunuh.

Membunuh seseorang hanya karena mencuri itu, menurut Anne,  tidak Sebanding. “Penyelesaian masalah dengan membunuh itu seperti halnya seseorang yang mengalami masalah kemudian bunuh diri. Itu cara penyelesaian masalah yang keliru,” lanjutnya.

Baca Juga: Polres Sragen Tunggu Hasil Autopsi Jenazah Anak yang Dibunuh Ibu Kandung

Advertisement

Bunuh diri cenderung ke dalam diri pelaku sendiri, tetapi kalau membunuh itu ke orang lain. Dalam kondisi tersebut maka pelaku mengalami gangguan kepribadian yang mengarah pada gangguan kejiwaan.

Anne menerangkan gangguan kepribadian yang mengakibatkan munculnya keyakinan tentang nilai-nilai atau norma-norma sosial yang salah itu terbentuk karena faktor diri sendiri, lingkungan, tingkat pendidikan, dan seterusnya. Faktor yang paling dominan adalah kondisi lingkungan sejak kecil.

“Kemiskinan dan ego pribadi yang tinggi juga bisa membentuk keyakinan tentang nilai-nilai sosial. Solusinya apabila ada orang dalam kondisi seperti itu dibutuhkan suport dari lingkungan dan bersikap terbuka dengan lingkungan. Nilai-nilai agama juga bisa mencegah orang untuk berbuat berlebihan,” terangnya.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif