Solopos.com, SOLO — Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Agustina Wilujeng Pramestuti, menilai pentingnya memastikan siapa yang bertanggung jawab dalam penerapan protokol kesehatan (prokes) ketika pertemuan tatap muka atau PTM dimulai, Juli mendatang.
Menurutnya, harus sudah dihitung berapa biaya yang dibutuhkan untuk menerapkan prokes selama PTM di sekolah. Sebab PTM di sekolah tidak boleh hanya dipikirkan untuk jangka waktu satu hingga dua bulan, tetapi hingga setahun ke depan.
“Prokes di sekolah akan jadi tanggung jawab siapa. Rule-nya sekolah akan memberi arahan, tapi pembiayaannya dari mana?” tuturnya di sela Bintek Kemitraan Pemasaran Pariwisata Kemenparekraf di The Sunan Hotel Solo, Kamis (29/4/2021).
Baca juga: Keberatan, 4 Perusahaan di Boyolali Bayar THR Dengan Dicicil
Baca juga: Keberatan, 4 Perusahaan di Boyolali Bayar THR Dengan Dicicil
Agustina Wilujeng mengakui pembiayaan sarana prokes selama PTM bisa diambilkan dari dana BOS. Tapi ia mempertanyakan apakah dana BOS cukup untuk membiayai prokes jangka panjang. Untuk itu ia menekan pentingnya solusi yang disiapkan.
“Kemendikbud bilang bisa diambilkan dari dana BOS. Tapi apakah cukup untuk membiayai prokes selama setahun di sekolah. Indeks rata-ratanya untuk satu anak kalau sekolah swasta Rp700.000 hingga Rp800.000,” sambungnya.
Agustina Wilujeng menekankan pentingnya prokes selama penerapan PTM. Jangan sampai PTM justru memunculkan klaster penularan Covid-19. “Mudah-mudahan ketika PTM dimulai Juli 2021 sudah ada solusi masalah pembiayaan prokes,” ujarnya.
Agustina menggantungkan harapan kepada revisi UU tentang Kebencanaan tahun ini. Dalam proses revisi itu ia menilai penting untuk memasukkan pendidikan sebagai sektor yang ditangani saat bencana.
Baca Juga: Nama Dicatut, RSCH Klaten Laporkan Akun FB Penghujat Korban KRI Nanggala Ke Polisi
Berkaca kepada pengalaman selama masa pandemi Covid-19 setahun terakhir, sektor pendidikan tidak menjadi prioritas yang ditangani berdasarkan UU Kebencanaan. UU itu baru memprioritaskan tiga sektor, yaitu pangan, papan, dan sandang.
“Bila dulu pendidikan menjadi kebutuhan sekunder, orang tua zaman dulu menganggap seperti itu. Saat ini saya pikir sudah tidak bisa lagi. Sekolah atau pendidikan harus menjadi kebutuhan primer, sama seperti pangan, papan, sandang,” urainya.