SOLOPOS.COM - Supriyanto, 48, pengusaha hidangan istimewa kampung (HIK) di pinggir jalan lingkar kota (JLK) ruas Desa Pare, Kecamatan Selogiri, Sabtu (10/12/2022). (Solopos.com/Luthfi Shobri Marzuqi)

Solopos.com, WONOGIRI — Selama belasan tahun, Supriyanto, 48, warga Pare, Kecamatan Selogiri merasakan kerasnya hidup di Ibu Kota. Pria berusia 48 tahun itu mulanya punya harapan sama seperti kaum boro lainnya, yakni berharap kehidupannya lebih baik di tanah perantauan.

Namun nasib baik justru didapat saat kembali ke kampung halamannya di Wonogiri. Supri, sapaan akrabnya, kini sukses membuka warung hidangan istimewa kampung (HIK) di pinggir jalan lingkar kota (JLK), tepatnya di ruas Desa Pare, Kecamatan Selogiri.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Mulanya, Supri memutuskan merantau ke Jakarta tahun 1996. Kala itu Supri yang usianya masih 22 tahun mengikuti jejak orangtuanya sebagai perantau.

Pertimbangan lain saat memutuskan merantau karena masa kontrak Supri menjadi pegawai di salah satu instansi di Wonogiri sudah habis. Supri mengaku hanya bermodal uang dan keinginannya mengubah nasib saat merantau.

Sesampainya di Ibu Kota, ia memilih daerah Tanjung Priuk, Jakarta Utara. Di sana, selama lebih kurang 12 tahun lamanya ia mengaku menjadi preman jalanan yang juga membantu sejumlah perusahaan guna memastikan pengiriman barang-barangnya aman.

Baca Juga: Kaum Boro Bikin Tingkat Partisipasi Pemilih di Pilkades Wonogiri Tak Optimal

“Mulai dari 1996 saya beraktivitas di Tanjung Priuk. Pada 2003, saya istilahnya naik pangkat, dipercaya perusahaan memastikan keamanan pengiriman barangnya dari satu tempat ke tempat lain. Saya hidupnya di jalanan, berpindah-pindah,” kisah Supri kepada Solopos.com, Sabtu (10/12/2022).

Setelah menjalani hidup sebagai preman jalanan di Ibu Kota, Supri beralih pekerjaan sebagai penjual bakso tahun 2008. Kemampuan meracik bakso yang dimiliki Supri diperoleh dari orangtuanya yang juga sebagai penjual bakso.

Supri memulai usaha menjadi penjual bakso di Tangeran. Ia menempati lahan kosong. Namun sekitar setahun setelah usaha itu dijalankan, ia kembali menjadi preman.

“Soalnya lahan kosong yang ditempati untuk berdagang milik orang. Saya diusir dan usaha baksonya sudah tidak ada lagi. Akhirnya saya kembali ke jalanan,” kata dia.

Baca Juga: Gunung Brojo Wonogiri, Lokasi Paling Cocok bagi Para Pendaki

Ia kembali menjalani kehidupan jalanannya hingga 2013. Setelah itu ia beralih profesi sebagai petugas keamanan di sebuah mal di Jakarta. Selain bekerja sebagai petugas keamanan, ia banyak beraktivitas di bidang kesenian.

Supri menjalani rangkaian aktivitasnya sebagai kaum boro hingga April 2019. Sebab pada momen itu ia memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya.

Selang sebulan, Mei 2019, ia berupaya mendirikan warung HIK di bahu JLK ruas Desa Pare. Tepatnya di area dekat Jembatan Merah.

Dengan modal Rp800.000, ia membeli seluruh perabot yang digunakan mendirikan warung HIK. Mulai dari alat-alat masak hingga tenda untuk berteduh.

Baca Juga: Kaum Boro Harus Bali Ndesa Mbangun Desa

JLK kala itu sudah mulai dilintasi pengendara motor, mobil, hingga truk. Kondisi tersebut membuat warung HIK-nya berpeluang makin ramai.

“Serba seadanya dulu. Yang dijual berupa minuman, gorengan, dan nasi. Sewaktu pandemi Covid-19 itu sepi pembeliannya, tapi alhamdulillah sekarang sudah ramai,” ucapnya.

Selain ramai pembeli, warung HIK yang mulanya hanya seluas 2 meter x 4 meter, pada 2022 ditambah luasnya hingga mencapai 6 meter x 10 meter. Menunya pun bertambah.

Supri mengaku dalam sehari menyediakan sekitar 300 bungkus nasi. Ia mengklaim ratusan bungkus nasi itu selalu habis setiap Kamis, Jumat, dan Sabtu.

Baca Juga: Cerita di Balik Tingginya Kaum Boro Wonogiri

“Setiap Kamis itu pasti ada perkumpulan komunitas yang makan di warung sini. Sedangkan setiap Jumat, saya membuat promo beli es teh satu seharga Rp1.000. Lalu Sabtu malamnya biasa ramai, anak-anak muda banyak yang nongkrong dan kalau tidak hujan pasti ada live music. Jadi ya seringnya nasi bungkus yang tersedia habis dalam sehari itu,” kata dia.

Kini usaha milik Supri makin berkembang. Salah satunya ditunjukkan dengan adanya empat karyawan yang membantunya melayani pembeli. Namun ia tak ingin dianggap sukses saat justru dirinya pulang ke kampung halaman dan meninggalkan perantauan di Ibu Kota.

“Bagi saya, merantau di Ibu Kota itu sama saja melatih saya untuk pintar dalam hal apapun. Siapa pun dan di mana pun, bagi saya adalah guru yang memberi pelajaran hidup. Ibu Kota bukan sekadar tempat mengubah nasib ekonomi, tapi semangat hidup di Ibu Kota yang bisa dipetik saat jadi perantau,” ulasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya