SOLOPOS.COM - Ilustrasi uang (Dok/JIBI)

Pungli di Sukoharjo diduga ada di bagian pemerintahan.

Solopos.com, SUKOHARJO — Warga Kelurahan Gayam, Kecamatan Sukoharjo, S. Widiyono, 46, menduga ada praktik pungutan liar (pungli) di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sukoharo. Dugaan pungli terjadi dalam kepengurusan izin penggunaan pemanfaatan tanah (IPPT) di Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah (Setda) Sukoharjo.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

IPPT digunakan untuk memproses izin mendirikan bangunan (IMB). Dugaan itu mengemuka setelah Widiyono yang juga pemilik Sanggar Merah Putih Sukoharjo itu menyampaikan keluhan karena telah menyetor Rp6 juta ke salah satu petugas di Bagian Pemerintahan, namun tanpa diberi tanda terima resmi meski telah diminta.

Saat ditemui Solopos.com di rumahnya, Rabu (8/7/2015), pengusaha perkayuan itu menceritakan pungli itu ia alami saat hendak mengurus IMB untuk tanah seluas Rp 1.027 m2 di Kleban, Mandan, Kecamatan Sukoharjo, Jumat (3/7/2015) lalu. Sedianya lahan akan dibangun gudang dan tempat finishing kayu.

Widiyono meminta karyawannya, Wl, untuk menguruskannya. Semula Wl mengurus administrasi awal di Dinas Pekerjaan Umum (DPU). Dari DPU dia mendapatkan satu map berisi berkas, salah satunya Surat Rekomendasi Teknis bernomor 503/848/RK-IMB/VI/2015. Selain map, perempuan muda itu mendapat amplop terpisah yang berisi surat rekomendasi teknis tata ruang (RTTR) bernomor 650.156.2/2015/BKPRD yang ditandatangani Agus Santosa selaku Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Sukoharjo.

“Setelah itu Wl ke KPPT [Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu]. Lalu salah satu petugas kantor setempat mengarahkannya ke Bagian Pemerintahan untuk mengurus IPPT. Wl lalu ke ruang yang ditunjukkan itu. Di kantor tersebut ada pegawai yang berbisik menginformasikan soal tarif biaya kepengurusan. Katanya biayanya Rp6.000 untuk setiap meter persegi lahan. Jadi totalnya Rp6,126 juta. Saat itu Wl belum bisa memberi uang,” kata Anggota Asosiasi Pengusaha Mebel Indonesia (Aswindo) Sukoharjo itu.

Pada Senin (6/7/2015), Wl kembali mengurus di Bagian Pemerintahan dengan menemui salah satu kepala subbagian, BSA. Berdasar perhitungan BSA, pemohon harus menyetorkan uang Rp6,126 juta. Lalu nilai itu diturunkan menjadi Rp6 juta. Wl pun menyetorkan uang sesuai permintaan. Namun, saat diminta tanda terima sebagai bukti pembayaran, BSA menolak memberikan. Setelah didesak, BSA memberi secarik kertas yang menyatakan dia telah menerima berkas dari pemohon tanpa ada rincian tarif.

“Kalau pungutan itu legal, kenapa tidak ada tanda terima. Kalau legal masa tarif bisa diturunkan. Lalu dasar kalkulasi tarif itu dari mana kok bisa muncul angka segitu [Rp6 juta]. Anehnya lagi, sehari setelah itu otoritas Bagian Pemerintahan telepon saya mengatakan akan mengembalikan uang saya. Kalau legal, kenapa harus dikembalikan?” imbuh Widiyono.

Dia menduga peristiwa itu tidak hanya menimpa dirinya dan tidak terjadi kali itu saja. Sebab, menurut keterangan Wl, lobi yang dilakukan petugas di Bagian Pemerintahan seperti sudah terbiasa.

Sementara itu, Kepala Bagian Pemerintahan, Ari Haryanto, tidak ada di kantornya saat akan dimintai konfirmasi. Saat Solopos.com mencoba menghubungi via telepon selulernya, tak dijawab. Begitu pula dengan pesang singkat yang dikirim Solopos.com pun tak ada balasan.

Terpisah, Sekda Sukoharjo, Agus Santosa, tidak dapat ditemui. Pegawai di kantornya menginformasikan Agus sedang sibuk.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya