Soloraya
Jumat, 4 Maret 2022 - 04:31 WIB

Pura dan Masjid Berdampingan, Simbol Kerukunan di Desa Jati Sragen

Wahyu Prakoso  /  Abu Nadzib  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Suasana Pura Widyajati yang lokasinya dekat dengan Musala Al Huda di Dukuh Nglimbangan RT 027, Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Sragen, Kamis (3/3/2022). (Solopos.com/ Wahyu Prakoso)

Solopos.com, SRAGEN — Bangunan Pura Widyajati yang berlokasi di Dukuh Nglimbangan RT 027, Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Sragen, tampak sederhana.

Namun keberadaan pura menjadi istimewa karena berdekatan dengan Musala Al Huda. Lebih-lebih warga setempat menjunjung tinggi nilai toleransi.

Advertisement

Untuk menuju Pura Widyajati cukup mudah dengan panduan aplikasi peta digital atau arah barat laut Kantor Desa Jati, Sumberlawang. Lokasinya bisa ditempuh perjalanan sekitar 500 meter dari Kantor Desa Jati.

Baca Juga: Menyambut Tahun Baru Imlek dan Menguatkan Toleransi atas Keberagaman

Advertisement

Baca Juga: Menyambut Tahun Baru Imlek dan Menguatkan Toleransi atas Keberagaman

Pura Widyajati memiliki luas bangunan sekitar 8 meter x 10 meter. Bangunannya terdiri dari dua unit bangunan yakni Padmasana serta ruang untuk ibadah. Adapun Musala berdiri sekitar 25 meter dari pura.

Meskipun tergolong kecil, pura tersebut aktif digunakan sembahyang setiap hari oleh umat Hindu setempat. Ada sekitar 14 keluarga Hindu biasa berdoa.

Advertisement

“Pada 2021 umat baru bisa membangun Padmasana ini. Lokasinya hanya 8 meter x 10 meter jadi ya ada Padmasana,” ujarnya.

Baca Juga: Kisah Toleransi Beragama, Pria Muslim Kerja di Gereja Katerdal 29 Tahun

Dia mengatakan Pura Widyajati diambil dari Widya yang berarti ilmu pengetahuan. Jari merupakan Desa Jati. Ngatmin memaknai sumber pengetahuan dari Desa Jati.

Advertisement

Menurut dia, ada tiga agama yang dianut warga di Dukuh Nglimbangan, yakni Buddha, Hindu, dan Islam. Semua warga saling bersinergi dengan gotong royong.

Salah satu umat Hindu, Darto, 52, mengatakan umat membangun balai banjar untuk sembahyang sekitar 1980. Selanjutnya ada wakaf dari umat Hindu lalu dibangun Padmasana.

Baca Juga: Satai Kudus, Wujud Toleransi Beragama Kota Kretek

Advertisement

“Pembangunan Padmasana dari swadaya masyarakat lalu ada bantuan donatur dan PHDI [Parisada Hindu Dharma Indonesia],” jelasnya.

Menurut Darto, semua warga termasuk umat Hindu ikut membangun Musala Al Huda sekitar 19 tahun lalu. Dia juga terlibat menggalang donasi untuk biaya pembangunan musala.

“Membantu enggak harus seagama namun harus hidup berdampingan,” jelasnya.

Dia mengatakan semua warga memiliki pemahaman yang sama terkait nilai toleransi.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif