SOLOPOS.COM - Pura Widyajati lokasinya berdekatan dengan Musala Al Huda di Dukuh Nglimbangan RT 027, Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Sragen, Kamis (3/3/2022). (Solopos.com/Wahyu Prakoso)

Solopos.com, SRAGEN — Pura Widjajati yang berlokasi di Dukuh Nglimbangan RT 027, Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Sragen, terlihat mencolok meski sederhana. Karena jarang sekali ada tempat ibadah umat Hindu di kecamatan ini. Apalagi lokasinya yang berdekatan dengan Musala Al Huda.

Keberadaan Pura Widjajati ini selain menjadi simbol eksistensi umat Hindu di Sumberlawang, juga menjadi bukti nyata sikap toleransi antarumat beragama di kalangan masyarakat setempat.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Untuk menuju Pura Widyajati cukup mudah dengan panduan aplikasi peta digital. Lokasi tepatnya berada di arah barat laut Kantor Desa Jati. Jaraknya sekitar 500 meter.

Baca Juga: Pentingnya Nilai Toleransi dan Moderasi Beragama Masa Kini

Pura Widyajati memiliki luas bangunan sekitar 8 meter x 10 meter. Bangunannya terdiri atas dua unit bangunan yakni Padmasana serta ruang ibadah. Adapun Musala berdiri sekitar 25 meter dari pura.

Meskipun tergolong kecil, pura tersebut aktif digunakan untuk sembahyang setiap hari oleh umat Hindu setempat. Ada sekitar 14 keluarga Hindu biasa berdoa di sana.

Pemangku Pura Widyajati, Ngatmin, mengatakan pura ini dulunya berupa rumah bambu. Dulu, umat Hindu yang beribadan di sini berasal dari Dukuh Nglimbangan, Dukuh Jati, dan Dukuh Sendangrejo.

“Pada 2021 umat baru bisa membangun Padmasana ini. Lokasinya hanya 8 meter x 10 meter jadi ya ada Padmasana,” ujarnya.

Baca Juga: Kisah John Lobo, Guru Katolik di Mojokerto yang Ikut Bangun Masjid

Dia mengatakan Pura Widjajati diambil dari kata Widya yang berarti ilmu pengetahuan. Jati diambil dari nama Desa Jati. Ngatmin memaknai Widjajati sebagai sumber pengetahuan dari Desa Jati.

Menurut dia, ada tiga agama yang dianut warga di Dukuh Nglimbangan, yakni Buddha, Hindu, dan Islam. Semua warga saling bersinergi dengan gotong royong.

Salah satu umat Hindu, Darto, 52, mengatakan umat membangun balai banjar untuk sembahyang pada sekitar 1980. Selanjutnya ada sumbangan dari umat Hindu lalu dibangun Padmasana.

“Pembangunan Padmasana dari swadaya masyarakat lalu ada bantuan donatur dan PHDI [Parisada Hindu Dharma Indonesia],” jelasnya.

Baca Juga: Toleran dan Bahagia

Lebih jauh Darto mengatakan meski umat Hindu minoritas, mereka bisa hidup rukun dengan penganut agama lain di Desa Jati. Bahkan saat Musala Al Huda dibangun 19 tahun lalu, umat Hindu ikut bergotong royong bahkan berdonasi untuk membiayai pembangunannya.

“Membantu enggak harus seagama, namun harus hidup berdampingan,” jelasnya.

Dia mengatakan semua warga memiliki pemahaman yang sama terkait nilai toleransi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya