SOLOPOS.COM - Radio Kambing milik RRI Solo yang disimpan di Monumen Pers Nasional, Selasa (16/5/2023). (Solopos.com/Nova Malinda).

Solopos.com, SOLO —Radio menjadi alat yang cukup vital pada masa awal kemerdekaan. Radio berperan untuk menyebar informasi secara luas dan cepat ke pelosok Tanah Air.

Salah satunya Radio Kambing yang saat ini artefaknya masih disimpan baik di Monumen Pers Nasional. Catatan perjalanan pers di Soloraya saat awal kemerdekaan tak lepas dari keberadaan radio milik RRI tersebut. Disebut Radio Kambing karena saat siaran berada di dekat kandang kambing milik warga setempat.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

“Saat itu fungsinya menyebarkan informasi seperti rantai komando, berita proklamasi,” kata petugas humas Monumen Pers Nasional, Rangga Perdana saat ditemui Solopos.com di kantornya, Selasa (16/5/2023).

Saat awal proklamasi kemerdekaan, situasi di Indonesia belum begitu stabil. Terlebih adanya keinginan dari Belanda untuk menguasai kembali Tanah Air, termasuk Soloraya.

Belanda berusaha memborbardir serangan ke Soloraya lewat agresi militer II. Pemancar radio menjadi objek vital tak luput dari serangan belanda saat agresi militer kala itu.

Militer Belanda berhasil membumihangsukan pemancar RRI di PTP Goni, Delanggu, Klaten, Jawa Tengah. Pribumi pejuang penyiaran, yang dikenal dengan sebutan angkasawan di Solo mendengar kondisi itu. Mereka lalu bergegas menghindarkan pemancar radio RRI di Solo dari hantaman militer Belanda pada 1948.

Para angkasawan secepatnya memindahkan Radio RRI Solo atau Radio Kambing sesuai arahan Kepala RRI Kota Bengawan, R. Maladi.

“Para pejuang tahu kalau radio ini mau dihancurkan, makanya diungsikan ke sebuah desa, Namanya Desa Balong Kecamatan Jenawi Kabupaten Karanganyar,” terang dia.

Perjalanan menyelamatkan Radio Kambing tidak semudah yang dibayangkan. Para angkasawan jatuh bangun membawa Radio Kambing menuju tempat persembunyian dengan bergerilya.

Selama di perjalanan, para pejuang sempat ketahuan Belanda dan harus mendapatkan serangan. Berhasul lolos dari serangan, radio tersebut dapat terselamatkan sampai di kaki Gunung Lawu.

Para penyiar RRI Solo melakukan siaran bergerilya di kaki Gunung Lawu pada masa itu. Dan Belanda tak bisa melacak keberadaan radio hingga mereka ditarik mundur dari Indonesia.

Radio Kambing mengudara sampai 1950. Di Desa Balong sendiri masih bisa ditemukan jejak perjuangan saat para penyiar melakukan siaran.

“Di Desa Balong ada monumen RRI, dan menara pemancarnya itu masih ada,” ucap edukator monumen, Rista Ayu di lokasi yang sama.

Cerita para penyiar yang bergerilya di Desa Balong juga sempat diabadikan dalam surat kabar harian Sinar Merdeka. Meski saat ditanya, edukator monumen belum bisa menjelaskan secara detail tokoh-tokoh tersebut.

Radio yang dijuluki Radio Kambing ini pernah memancarkan gelombang terjauh hingga Belanda saat mengiringi tarian Gusti Raden Ayu Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Kusumawardhani yang berada di Negara Kincir Angin.

“Radio ini pernah memancarkan paling jauh sampai Belanda, bisa sampai sana. Karena waktu itu zaman Gusti Noeroel [putri tunggal K.G.P.A.A. Mangkunegoro VII] pernah menari di saat Ratu Yuliana menikah, menarinya di Belanda, iringannya dari sini,” terang dia.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya