Soloraya
Selasa, 5 Maret 2024 - 00:15 WIB

Ramainya Lebihi Lebaran, Begini Sejarah Tradisi Sadranan Cabeankunti Boyolali

Nimatul Faizah  /  Suharsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Warga Desa Cabeankunti, Cepogo, Boyolali, membawa tenong ke makam setempat saat tradisi Sadranan, Minggu (3/3/2024). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Solopos.com, BOYOLALISadranan menjadi tradisi yang paling ditunggu-tunggu masyarakat Desa Cabeankunti, Cepogo, Boyolali, setiap bulan Ruwah atau bulan sebelum Ramadan. Saat acara tradisi itulah, masyarakat akan berkumpul, bersilaturahmi dengan kerabat dan tetangga.

Bahkan, warga yang merantau ke luar daerah pun banyak yang memilih pulang kampung saat tradisi Sadranan ketimbang saat Lebaran. Karenanya tak mengherankan jika tiap acara ini digelar, kemeriahannya melebihi saat Lebaran.

Advertisement

Seperti pada acara Sadranan pada Minggu (3/3/2024) lalu. Ratusan warga lereng Gunung Merapi itu berduyun-duyun menyunggi tenongan berdiameter 80 cm di kepala menuju makam desa setempat. Warga membawa tenongan besar berisi makanan.

Setelah pengajian, zikir tahlil, dan doa oleh sesepuh desa, warga baik orang dewasa dan anak-anak, langsung memakan isi tenongan dan saling bertukar makanan. Kemeriahan dan kebersamaan tampak lekat mewarnai suasana.

Advertisement

Setelah pengajian, zikir tahlil, dan doa oleh sesepuh desa, warga baik orang dewasa dan anak-anak, langsung memakan isi tenongan dan saling bertukar makanan. Kemeriahan dan kebersamaan tampak lekat mewarnai suasana.

Acara tak berhenti di situ. Seusai kegiatan di makam, masing-masing rumah akan melakukan open house layaknya Lebaran. Warga akan saling mengunjungi dan menerima tamu dari berbagai daerah sekitar. Aneka makanan pun disajikan.

Kepala Desa Cabeankunti, Cepogo, Boyolali, Khamid Winarti, mengungkapkan tradisi Sadranan pada Minggu itu dihadiri warga dari Dukuh Sidotopo, Sidosari, Lerep, Balong, Margomulyo, Cabean, Kunti, Kedung Banteng, Gajian, dan Sidorejo.

Advertisement

Ketika besik makam dan saudara jauh datang, warga setempat akan membawakan makanan seadanya yang diwadahi tenong. Ia menjelaskan inti dari Sadranan adalah mendoakan dan memberikan sedekah berupa makanan kepada saudara lalu pahalanya dikirimkan kepada orang-orang yang telah meninggal.

Khamid memaknai Sadranan sesuai dengan asal usul katanya yaitu dada atau takzim kepada leluhur dan meminta ampunan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk mereka. Doa-doa tersebut dipanjatkan dalam rangka berterima kasih kepada leluhur atas pengorbanan dan usaha mereka di masa lalu sehingga masyarakat kini bisa menikmati.

Pemanjatan doa tersebut disebut punggahan atau menaikkan doa untuk para leluhur. Makanan dalam tenong juga mengikuti zamannya. Khamid mengungkapkan di zaman orang tuanya, isi dari tenong biasanya makanan tradisional terbuat dari hasil bumi seperti singkong, jagung, dan sebagainya.

Advertisement

Namun, saat ini bergeser dan terdapat pula camilan-camilan. Namun, yang tidak berubah yakni nasi tumpeng, apam, dan lauk pauk di dalamnya.

Ia menjelaskan tradisi Sadranan di Cabeankunti, Cepogo, Boyolali, digelar tiap tanggal 21 Ruwah atau Syakban tiap tahunnya. Hal tersebut berdasarkan kesepakatan bersama masyarakat yang akhirnya menjadi tradisi turun temurun.

Pergeseran Tradisi

“Kalau dulu, Sadranan hanya ada di Cabeankunti bagian barat. Sekarang, bagian timur seperti Watu Penganten, Ngargosari, dan Rejosari juga ada sekitar 25 tahun terakhir. Hal tersebut muncul karena keinginan masyarakat melihat kok ingin juga silaturahmi,” kata dia.

Advertisement

Setelah berjalan ratusan tahun, tradisi tersebut bergeser. Yang awalnya tradisi Sadranan digelar di makam, kini bergeser ke rumah-rumah. Ia menyebut sadranan bahkan lebih ramai dibandingkan saat Lebaran.

Penyebabnya karena ketika Sadranan hanya dilakukan satu hari dan terfokus di satu desa. Setiap orang bisa datang ke rumah orang yang Sadranan tanpa memandang lebih muda, junior, dan sebagainya. Berbeda ketika Lebaran, yang bisa berlangsung selama satu pekan dan biasanya orang yang lebih muda berkunjung ke yang tua.

“Dulu setelah dari makam, saudara mampir ke rumah untuk silaturahmi. Kalau sekarang berbeda, yang penting ke rumah. Untuk besik atau ke makamnya biasanya sudah jarang, hanya terbatas orang-orang tua atau orang tertentu,” kata dia.

Khamid mengatakan pengeluaran warga saat tradisi Sadranan dalam satu hari bisa menyamai bahkan lebih banyak dibanding Lebaran dalam sepekan. Dalam satu hari, satu rumah bisa menerima sekitar 500-1.000 tamu saat Sadranan.

Sehingga, ada masyarakat yang pengeluarannya justru naik 10 kali lipat lebih tinggi saat Sadranan dibandingkan saat Lebaran. “Persiapannya, biasanya masyarakat itu ada yang arisan makanan, lauk, bahkan arisan sapi. Jadi, arisan sapi khusus Sadranan, nanti jelang Sadranan sapinya disembelih diambil dagingnya,” kata dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif