Soloraya
Kamis, 6 Maret 2014 - 09:13 WIB

RAPERDA TRAFFICKING : Pakar Hukum Minta Agar Pembahasan Raperda Trafficking Dihentikan

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sejumlah peserta mengikuti seminar Pengkritisan Pembuatan Raperda Pencegahan Manusia Sebagai Partisipasi Masyarakat di Rumah Blogger, Kelurahan Jajar, Kecamatan Laweyan, Solo, Rabu (5/3/2014). (JIBI/Solopos/Iskandar)

Solopos.com, SOLO–Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, Dr Aidul Fitriciada Azhari SH menyarankan pembahasan rancangan peraturan daerah (raperda) trafficking di DPRD Solo. Karena raperda itu dinilai tak jelas dan salah arah.

“Saran saya agar pembahasan raperda harus dihentikan saja dulu dan kemudian disusun yang baru, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sesuai dengan kaidah-kaidah peraturan perundang-undangan yang benar,” ujar dia ketika ditemui wartawan seusai seminar Pengkritisan Pembuatan Raperda Pencegahan Manusia Sebagai Partisipasi Masyarakat di Rumah Blogger, Kelurahan Jajar, Kecamatan Laweyan, Solo, Rabu (5/3/2014).

Advertisement

Seperti diwartakan sebelumnya, Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (Jarpuk) Solo dimintai masukan tentang raperda trafficking di Gedung Dewan, Selasa (18/2). Jarpuk justru mempertanyakan mekanisme perbaikan raperda dan naskah akademik (NA) yang dinilai belum bisa mengakomodasi realitas di Kota Solo.

Juru bicara Jarpuk, Vera Kartika, mengatakan raperda trafficking itu mestinya ditarik dulu, baru diperbaiki oleh tim. Setelah itu, kata dia, raperda diajukan kembali sebagai inisiatif baru dari DPRD Solo.

Lebih lanjut Aidul Fitriciada mengatakan substansi raperda itu harus disesuaikan dengan perturan perundang-undangan. Selain itu pihaknya juga menyaranka harus ada kajian komprehensif, terutama kajian yang didasarkan atas data masyarakat Solo.

Advertisement

“Bukan hasil dari copy paste dari daerah lain, juga bukan dari hasil angan-angan. Masa pada raperda itu kajian akademik tak ada sama sekali,” papar dia.

Menurut dia penghentian pembahasan bisa dilakukan bis dengan menarik kembali atas persetujuan DPRD dan Wali Kota (eksekutif) sesuai Undang Undang (UU) No. 12 tahun 2011. Kalau pembahasan sudah terjadi penarikan harus berdasar atas persetujuan dan kesepakatan DPRD dan Wali Kota.

Dari segi politis, ujar Aidul, keduanya butuh kelegaan hati dan sikap kenegarawanan agar hal ini tak menjadi peraturan darah (perda) yang dikemudian hari bermasalah.

Advertisement

Dia berpendapat ditinjau dari substansi, raperda itu tak mencerminkan apa yang dikendaki UU No. 12 tahun 2011. “Kualitasnya sama sekali tidak akademis, terutama untuk landasan sosiologis. Tak ada data sosial sama sekali, jadi itu murni seperti kajian makalah biasa.”

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif