Soloraya
Minggu, 20 Juni 2021 - 10:59 WIB

Rawa Jombor Klaten Asale dari Desa yang Tergenang Air

Taufiq Sidik Prakoso  /  Chelin Indra Sushmita  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Keramba ikan di tengah Rawa Jombor Klaten. (Solopos.com/Chelin Indra Sushmita)

Solopos.com, KLATEN – Rawa Jombor di Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah, kini dalam kondisi sekarat akibat pencemaran dan sedimentasi.

Pegiat Sekolah Sungai Klaten, Arif Fuad Hidayah, menegaskan revitalisasi Rawa Jombor mendesak dilakukan. Dia mengibaratkan kondisi rawa saat ini sudah sekarat karena pencemaran yang berlangsung bertahun-tahun.

Advertisement

Sumber pencemaran itu berasal dari warung apung, pemancingan, hingga keramba hingga membuat eceng gondok tumbuh subur. “Pencemarannya sudah melampaui batas. Kemudian pengairannya jelek,” kata Arif kepada Solopos.com, Selasa (8/6/2021).

Baca juga: Cerita Wanita Jepara Kawin Kontrak dengan Londo: Dinafkahi hingga Rp20 Juta/Bulan, Tapi…

Advertisement

Baca juga: Cerita Wanita Jepara Kawin Kontrak dengan Londo: Dinafkahi hingga Rp20 Juta/Bulan, Tapi…

Rawa Jombor selama ini dikenal sebagai salah satu lokasi budi daya ikan hingga destinasi wisata di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Keramba untuk budi daya ikan hingga warung apung memadati sebagian rawa seluas 179 ha di Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Klaten, itu.

Sebelum dikenal sebagai waduk dengan keliling tanggul sekitar 7,5 km, kawasan Rawa Jombor merupakan pekarangan, sawah, serta permukiman warga. Hal itu seperti yang tertulis pada buku berjudul Mengenal Desa Krakitan yang disusun kantor Desa Krakitan pada 1980.

Advertisement

Asale Rowo Jombor Klaten

Pada 1900 atau sebelumnya, kawasan Rawa Jombor Klaten merupakan tanah rendah seperti kedung yang lebar dikelilingi pegunungan. Lantaran lokasinya sangat rendah, air yang berada di kawasan itu tak bisa terbuang baik saat musim hujan maupun kemarau.

Di sisi barat laut tanah rendah itu, ada Kali Ujung yang mengalirkan airnya hingga ke Kali Dengkeng. Dimungkinkan lantaran Kali Ujung sering kelebihan air saat musim hujan, air yang berada pada tanah rendah tersebut kian melebar hingga menjadi rawa.

Kelebihan air itu terus menggenangi tanah pekarangan, sawah, hingga permukiman warga. Alhasil, penghuni kampung dipindahkan ke tempat lain di tepi rawa atau tanah tegalan di sekitarnya.

Advertisement

Pada 1901, Raja Keraton Kasunanan Surakarta, Paku Buwono (PB) X, bersama Pemerintah Belanda mendirikan pabrik gula di Manisharjo, Kecamatan Pedan.

Karena memerlukan air untuk lahan yang ditanami tebu, PB X bersama Pemerintah Belanda membangun saluran air dari Rawa Jombor. Pekerjaan dimulai pada 1917 dengan membuat terowongan menembus gunung dan membuat talang di atas Kali Dengkeng. Proses pembangunan rampung pada 1921.

Baca juga: Ajaran Saminisme Jadi Senjata Melawan Kolonialisme

Advertisement

Perang Dunia II

Saat perang dunia kedua pecah (1941-1942), Pemerintah Belanda yang sebelumnya menguasai Indonesia pergi dan digantikan Pemerintah Jepang. Oleh Pemerintah Jepang, Rawa Jombor dijadikan waduk dengan cara dibangun tanggul.

Pembangunan tanggul dilakukan para pekerja paksa atau dikenal dengan romusa. Tanggul selebar 5 meter mengelilingi waduk itu hingga luasan rawa menyusut dari sekitar 500 ha tersisa 180 ha. Rawa Jombor difungsikan tempat penampungan air guna irigasi lahan pertanian sekitar 270 ha.

Kasi Kesejahteraan Rakyat dan Pelayanan Desa Krakitan, Suwanto, mengatakan dari cerita yang disampaikan secara turun temurun, Rawa Jombor sebelumnya tanah pekarangan, lahan pertanian, hingga permukiman warga. Benda atau bangunan yang membuktikan sisa perkampungan sebagian masih terpendam di dasar rawa.

“Masih ada makam di dalam rawa. Namun, karena sudah terlampau lama saat ini posisinya terendam lumpur,” kata Suwanto saat ditemui 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif