SOLOPOS.COM - Cuaca mendung di lahan pertanian Kabupaten Boyolali. Foto diambil beberapa waktu lalu. (Solopos.com/Ni'matul Faizah).

Solopos.com, BOYOLALI – Berdasarkan Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) Tahun 2018 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), petani di Boyolali ada sekitar 193.603 orang.

Dari jumlah tersebut, petani yang berusia di bawah 25 tahun atau petani muda di Boyolali sebanyak 1.882 orang.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Kemudian yang berusia 25 – 34 adalah 14.834 orang, petani yang berusia 35 – 44 ada 36.669, usia 45 – 54 adalah 51.078, berusia 55 – 64 terdapat 48.161, dan petani yang berada di usia lebih dari 65 tahun sebanyak 40.979.

“Jumlah petani laki-laki sebanyak 146.059 orang dan petani perempuan sebanyak 47.544 orang. Sementara menurut kelompok umur lebih dari 72 persen petani berumur 45 tahun ke atas. Petani lansia pun tergolong cukup banyak yaitu sebanyak 40.979 orang [21 persen],” bunyi dalam abstraksi penjelasan SUTAS 2018 di laman BPS Boyolali seperti yang diakses Solopos.com, Rabu (11/1/2023).

Sementara itu, data dari Dinas Pertanian (Dispertan) Boyolali berbasis Sistem Informasi Manajemen Penyuluhan Pertanian (Simluhtan) yang diungkap ke publik pada Senin (9/1/2023), menyatakan di Boyolali terdapat 120.526 petani.

Kemudian, 12.939 orang di antaranya berusia 19 – 39 tahun atau petani milenial. Dengan data tersebut, berarti 1 dari 10 petani di Boyolali adalah milenial, sembilan sisanya berumur lebih dari 39 tahun.

Ketua Pemuda Tani Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Boyolali, Andy Setyo Wibowo, menyatakan regenerasi petani di Boyolali sangat rendah. Ia juga mengungkit data SUTAS 2018 BPS yang menyoroti jumlah petani muda yang sedikit.

“Petani kelompok umur lebih dari 72 persen petani berumur 45 tahun ke atas. Petani lansia pun banyak, ada 21 persen atau 40.979 orang. Artinya, pemuda Boyolali belum tertarik untuk bekerja di sektor pertanian dan memilih profesi lain,” ujarnya kepada Solopos.com, Selasa (10/1/2023).

Untuk melakukan regenerasi petani milenial di Boyolali, Pemuda Tani HKTI Boyolali memfasilitasi pasar pascapanen dengan membentuk koperasi.

“Selain itu, untuk menarik anak regenerasi petani, kami menyelenggarakan paket pelatihan pengolahan, pengemasan, marketing, dan kerja sama dengan Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Ketenagakerjaan,” lanjutnya.

Tak hanya itu, Andy mengatakan Pemuda Tani HKTI mendorong untuk peningkatan produk unggulan komoditas di beberapa kecamatan di Boyolali. Kemudian juga mendorong gerakan kesadaran bersama untuk melakukan pelatihan teknologi hidroponik dan pupuk organik, serta memfasilitasi kerja sama lintas stakeholder.

“Dalam hal pembiayaan kami juga memfasilitasi akses perbankan sebagai permodalan. Kedepan kami akan menyediakan market place dan basis aplikasi sebagai project plan untuk memutus mata rantai pasar dengan begitu maka kesejahteraan petani akan terjamin,” kata dia.

SPI Boyolali

Sementara itu, Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Boyolali, Ahmad Ali Mustofa, mengungkapkan saat ini semakin banyak anak muda yang enggan menjadi petani karena dianggap pekerjaan rendahan.

“Padahal petani sekarang, minimal segenerasi saya, sudah mengikuti perkembangan zaman akan tetapi tidak melupakan petani naluri. Sudah banyak perbedaan dibanding dulu,” ujarnya saat ditemui Solopos.com, Selasa pagi.

Lebih lanjut, Ahmad mengatakan banyak sekali anak-anak muda yang saat ini memilih bekerja di pabrik atau di sektor-sektor lain yang memberikan gaji per bulan.

Menurutnya, banyak anak muda yang memilih jalan pintas tersebut agar kebutuhan setiap bulan terpenuhi tanpa harus bertani.

Menjadi petani, lanjut dia, masih dianggap pekerja kasar dan tidak dapat memberikan keuangan yang layak.

Padahal, menurutnya anggapan tersebut salah. Petani juga bisa sejahtera dan bisa bekerja dengan teknologi. Menurutnya, ilmu terkait pertanian juga tak terbatas di satu waktu dan selalu berkembang sehingga bertani itu seru.

“Saya kalau macul [mencangkul] sudah tidak pakai pacul, tapi pakai traktor. Kalau manual itu sehari hanya bisa beberapa meter, kalau traktor satu kotak itu bisa selesai dengan waktu yang sama,” ujar lelaki 48 tahun tersebut.

Ia juga mengungkapkan petani bisa juga sejahtera asalkan tahu dan mau memperdalam ilmu tentang bertani. Kadang, hasil bertani tak didapatkan secara langsung, akan tetapi harus menunggu.

Itu pun, lanjut dia, harus melewati beberapa tahapan seperti pengolahan tanah, pembibitan, perawatan, hingga panen.

“Dihitung dari pengolahan sampai panen kurang lebih 100 hari, dan itu kalau tidak canggih dan benar, mesti ada kesalahan misal hama, angin besar, dan lain-lain. Tapi pas harga jual tinggi begitu satu hektare brokoli itu bisa dapat Rp70 juta,” kata dia.

Tak hanya dihadapkan dengan permasalahan regenerasi petani, Ahmad mengungkapkan petani juga dihadapkan pada kelangkaan pupuk subsidi.

Ia mengatakan pupuk subsidi sulit dicari di sekitar tempat tinggalnya area Lencoh, Selo, Boyolali. Jika pun ada, harganya mencapai Rp150.000 per 50 kilogram. Kelangkaan tersebut, lanjut dia, terjadi baik pupuk ZA ataupun NPK.



“Gumun [heran] saya, wong [jumlah] tani sudah menurun kok pupuk semakin sulit, makin langka, dan jadinya mahal,” jelasnya.

Ia mengatakan dulu pupuk subsidi ZA tidak sampai menyentuh Rp100.000 per 50 kilogram. Namun, untuk saat ini sekitar Rp150.000 per 50 kilogram, itu pun sulit dicari.

Akhirnya, jelas Ahmad, para petani di lereng Merapi lebih memilih memakai pupuk dari kemitraan tembakau. Menurutnya, lebih mahal akan tetapi kualitas jauh lebih bagus dibanding subsidi sekaligus bisa digunakan menanam dua kali.

“Misal saya brokoli dan kol, setelah panen saya cabut. Saya tanami lagi, tidak dipakai pupuk ulang sudah subur,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya