SOLOPOS.COM - Tedjowulan (JIBI/SOLOPOS/Sunaryo Haryo Bayu)

Tedjowulan (JIBI/SOLOPOS/Sunaryo Haryo Bayu)

SOLO – Setelah delapan tahun mendeklarasikan diri sebagai Paku Buwono (PB) XIII, Tedjowulan akhirnya rela meletakkan jabatan raja yang disandangnya itu demi bersatunya kembali keluarga Keraton Kasunanan Surakarta.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Putera PB XII dari GRAy Retnodiningrum itu mulai Rabu (16/5/2012) malam telah berganti gelar menjadi Panembahan Agung dengan posisi sebagai orang kedua PB XIII Hangabehi yang merupakan kakaknya. “Gelar Panembahan Agung itu berdasarkan kesepakatan mereka berdua (Tedjowulan dan Hangabehi-red). Namun, intinya mereka adalah dwitunggal,” kata juru bicara Tedjowulan, Bambang Pradotonagoro.

Bambang menjelaskan, prinsip bersatunya dua raja itu ialah untuk mengembalikan kewibawaan Keraton. Sehingga, apapun gelar yang disandang Tedjowulan—termasuk Panembahan Agung yang merupakan gabungan dari Panembahan Senopati dan Sultan Agung itu—spiritnya ialah dwitunggal.

Terkait gelar Panembahan Agung, pengamat sejarah Solo, Heri Priyatmoko mengakui bahwa gelar tersebut secara ekplisit baru ada kali ini dalam sejarah Keraton. Meski demikian, untuk istilah Panembahan sendiri sejatinya hanya diperuntukkan bagi orang-orang istimewa, selain pendiri Dinasti Mataram Islam, Sultan Agung. “Gelar itu tak sembarang orang mendapatkannya. Bahkan, di Kota Solo sendiri baru Go Tik Swan yang mendapatkannya karena jasa besarnya kepada Keraton,” paparnya.

Sejak Dinasti Mataram berdiri ratusan tahun silam, jelas Heri, hanya lima orang yang pernah menerima gelar Panembahan itu. Mereka adalah Panembahan Buminata, Panembahan Wijil, Panembahan Seda Ing Krapyak, Panembahan Senopati yang menurunkan raja-raja Mataram, serta Go Tik Swan. Mereka yang bergelar Panembahan itu, kata imbuh Heri, akan menerima sembah dari pangeran riya sentana yang lebih muda serta bawahannya. “Dengan gelar istimewa itu, harapannya barangkali agar Tedjowulan mampu berkomunikasi politik yang handal kepada petinggi keraton demi masa depan keraton,” paparnya.

Pengamat budaya Solo, Tunjung W Sutirto mengingatkan, bahwa setelah terjadi kesepakatan rekonsiliasi bukan berarti persoalan selesai. Sebab, rekonsiliasi dua raja yang terjadi itu hanya bersifat individu atau personel. Padahal, sejak adanya dualisme raja, secara langsung telah menimbulkan resistensi di masing-masing pendukung kepada raja kala itu. “Bukan soal nama atau gelar saja. Tapi, bagaimana keduabelah pihak mampu menjelaskan kepada para abdi dalem dan pendukungnya tentang spirit rekonsiliasi itu,” paparnya.

Sehingga, imbuhnya, rekonsilasi dua raja itu akan mampu diikuti oleh para pendukung serta abdidalemnya selama ini. “Mereka selama ini kan sudah mengeluarkan banyak gelar kehormatan kepada masyarakat. Nah, bentuk dari tanggungjawab mereka ialah memahamkan rekonsiliasi itu,” paparnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya