Soloraya
Rabu, 6 Juni 2012 - 10:56 WIB

REKONSILIASI KERATON: Tafsir Rekonsiliasi Pada Dinasti Mataram...

Redaksi Solopos.com  /  Tutut Indrawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - KERATON--Warga melintas di kompleks Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Solo, Rabu (21/3/2012). (Agoes Rudianto/JIBI/SOLOPOS)

KERATON--Warga melintas di kompleks Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Solo, Rabu (21/3/2012). (Agoes Rudianto/JIBI/SOLOPOS)

Untuk melacak akar konflik kerajaan-kerajaan di Nusantara, termasuk konflik Dinasti Mataram barangkali tak terlalu susah. Namun, untuk menemukan jejak lahirnya sebuah konsep rekonsilasi pada sejarah kerajaan masa silam, sepertinya orang butuh kejelian dalam menfasirkan setiap detail sejarah.

Advertisement

“Sebab, setiap fakta sejarah yang terbeber, akan selalu menyajikan sederet teka-teki di belakangnya. Ini yang kerap dilupakan orang,” kata Purwadi, salah satu peneliti dan pengkaji keraton-keraton di Nusantara saat berbincang dengan Solopos.com di Keraton Kasunanan Surakarta, Rabu (6/6).

Rekonsiliasi antara PB XIII Hangabehi dan KGPH Panembahan Agung Tedjowulan, kata Purwadi, sebenarnya bukanlah hal baru dalam sejarah kerajaan. Ketika Keraton masih di bawah Paku Buwono (PB) III, jelas dosen Universitas Gajah Mada Jogja ini, konsep damai itu sudah pernah terjadi.

Saat itu, tepatnya 13 Februari 1755, Mangkubumi menekan sebuah perjanjian Giyanti. Mangkubumi yang juga masih keluarga PB III bahkan mendapatkan bagian tanah pardikan di wilayah DIY, kecuali Kota Gede, Imogiri, dan Ngawen Gunung Kidul. Tanah itulah yang kemudian menjelma Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.  “Rekonsiliasi saat itu sebenarnya juga ada mediatornya, yakni N Hartgh, seorang pengusaha kebangsaan Belanda yang cukup kaya dan terkenal,” jelasnya.

Advertisement

Di balik perjalanan rekonsiliasi, Purwadi justru tertarik menfasirkan berderet fakta lain yang kerap dilupakan banyak orang. Ia mencotohkan, kenapa Mangkubumi yang semula erat dengan PB II tiba-tiba berbalik menyerang Keraton bersama Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said yang merupakan menantunya sendiri? Apakah hal itu murni karena sakit hati lantaran tanah bengkoknya dikurangi? Lantas, adakah yang tahu profesi Mangkubumi kala itu ketika Keraton akan dibangun setelah melestunya geger pecinan?

Bagaimanakah kekecewaaan Pangeran Sambernyawa ketika mengetahui rekan seperjuangnnya justru yang mendapatkan tanah pardikan di DIY?  Lantas, siapa saja kubu keluarga Keraton yang bermain atas kemelut atau untran-untran kala itu?

“Jangan disangka, rekonsiliasi saat itu hanya ada dua kubu yang berseteru. Di sana, banyak kepentingan, banyak penumpang gelap, makelar, termasuk provokasi-provokasi pihak luar,” jelasnya.

Advertisement

Lanskap sejarah masa lalu itu, jelas Purwadi, sebenarnya juga sama persis dengan rekonsiliasi yang terjadi saat ini. “Mangkubumi dulu berkawan dengan Pangeran Sambernyawa ketika menghadapi Keraton. Namun, setelah rekonsiliasi dengan Keraton, mereka akhirnya bermusuhan kan?” pungkasnya menutup perbincangan dengan Solopos.com.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif