Soloraya
Senin, 15 Januari 2024 - 20:52 WIB

Restorasi Film Lawas, Upaya Serius Selamatkan Sejarah Indonesia di Masa Lalu

Dhima Wahyu Sejati  /  Ahmad Mufid Aryono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Pemutaran film 16 mm Kipas-Kipas Cari Angin (1989) di Lokananta Bloc, Jumat (12/1/2024). Perlu penyelamatan film lawas Indonesia. (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati)

Solopos.com, SOLO–”Konvensi Jenewa itu sudah menentukan bahwa film atau gambar bergerak itu merupakan artefak suatu bangsa, yang menandakan perjalan suatu bangsa. Jadi kita butuh menyelamatkan arsip audio visual.”

Begitu kata Arsiparis Audio Visual, Rizka Fitri Akbar ketika berbincang dengan wartawan selepas pemutaran film lawas keluaran 1989 berjudul Kipas-Kipas Cari Angin diputar di Lokananta Bloc, Jumat (12/1/2024). 

Advertisement

Pria yang menjadi Koordinator Utama Digitalisasi dan Restorasi Kemendikbudristek itu mengatakan ingin melibatkan anak-anak muda melakukan kerja-kerja menyelamatkan film Indonesia. Penyelamat itu bisa dengan cara melakukan digitalisasi atau bisa juga cara lain yakni restorasi.

“Kami ingin anak-anak muda sekarang biar turut menyelamatkan arsip-arsip film. Kita mencoba lewat komunitas. Film sudah merupakan artefak kebudayaan,” kata dai.

Advertisement

“Kami ingin anak-anak muda sekarang biar turut menyelamatkan arsip-arsip film. Kita mencoba lewat komunitas. Film sudah merupakan artefak kebudayaan,” kata dai.

Meski begitu, dia mengakui tidak mudah melakukan penyelamatan film lawas Indonesia. Tantangan terbesarnya adalah mengumpulkan materi-materi film lawas yang biasanya dalam bentuk seluloid berukuran 8mm, 16 mm, sampai 35 mm. 

Masalahnya, seluloid film itu saat ini banyak dimiliki oleh para kolektor. Seringkali mereka salah memperlakukan seluloid film sehingga membuatnya mudah rusak. Misalnya para kolektor menyimpannya di gudang yang pengap dan panas. Idealnya seluloid film disempan di tempat yang dingin agar tidak mudah rusak.

Advertisement

Sejauh ini sudah ada sejumlah film lawas Indonesia yang sudah berhasil diselamatkan dengan metode restorasi oleh pemerintah Indonesia. Mengutip kantor berita Antara, Darah dan Doa (The Long March) menjadi film pertama yang berhasil diselamatkan.

Karya Usmar Ismail yang  diproduksi pada 1950 itu menjadi penting lantaran merupakan film pertama Indonesia yang dirilis setelah lepas dari kolonialisme Belanda.

Saking pentingnya film itu, hari pertama syuting, 30 Maret, kemudian dijadikan hari film nasional oleh pemerintah. Film itu akhirnya direstorasi pada 2013 lalu. 

Advertisement

Lalu setelahnya menyusul film berjudul Pagar Kawat Berduri karya Asrul Sani produksi pada 1961 dan direstorasi pada 2017, Bintang Ketjil karya Wim Umboh dan Misbach Yusa Biran produksi pada 1963 dan direstorasi pada 2018,  Kereta Api Terakhir karya Mochtar Soemodimedjo produksi pada 1981 dan direstorasi pada  2019.

Terakhir pada Desember 2023 lalu pemerintah kembali merestorasi film  berjudul Dr. Samsi karya Ratna Asmara yang diproduksi pada 1952. Film-film penting itu dikembalikan seperti semula tanpa ditambah atau dikurangi.  

“Kita restorasi itu dikembalikan seperti semula, jadi tidak boleh dikurangi tidak boleh ditambah. Karena medianya layar lebar, jadi harus dikembalikan ke layar lebar, jadi formatnya bukan broadcast, OTT [over-the-top], atau lainnya. Itu agar kita belajar sejarah, kenapa warnanya begini, di setiap era hitam putihnya berbeda,” kata dia.

Advertisement

Cara Kerja Penyelamatan Film Lawas

Rizka menjelaskan ada beberapa tahap sebelum film itu diselamatkan. Petama, yang perlu dilakukan adalah melakukan pemetaan. Dia menjelaskan pihaknya perlu mengetahui dimana saja film-film seluloid itu berada.

“Nah itu ada indikatornya, satu lewat komunitas. Kedua, daerah mana yang pernah ada bioskop, di mana ada bioskop berarti ada distribusi film,” kata dia. Setelah itu baru dilakukan pendataan jenis seluloid 8 mm, 16 mm, atau 35 mm. 

Baru setelah terpetakan dan data terkumpul, dia mengatakan perlu melakukan kurasi untuk memilih mana yang lebih dahulu perlu diselamatkan. Kurasi itu didasarkan pada kelangkaan salinan atau juga lantaran materi film yang memuat sejarah penting Indonesia.

Tidak hanya wujud film, dia juga mengatakan perlu dilakukan kerja-kerja mengarsipkan elemen lain dari film itu, seperti poster dan soundtrack. Maka menurutnya perlu melibatkan lintas komunitas untuk melakukan pengarsipan itu.

“Konteksnya ini sudah menyelamatkan sejarah loh. Misal kita bisa lihat dari film dulu ternyata bahasa Indonesia yang digunakan berbeda, dulu baku banget. Itu yang tidak dimiliki negara lain,” kata dia.

Namun, biaya yang dikeluarkan untuk melakukan restorasi tidaklah murah atau lebih tepatnya tidak terbatas. Rizka bercerita untuk melakukan restorasi satu film bisa menghabiskan dana sampai miliaran. 

 “Pasti memperbaiki lebih mahal dari merawat, restorasi tidak ada batasan biaya, dan tidak ada batasan waktu,” kata dia.

Harga itu sebetulnya tidak sebanding dengan potensi kehilangan sejarah bangsa lantaran rusaknya artefak kebudayaan berupa film seluloid yang mungkin jumlahnya ribuan dan tersebar di seluruh Tanah Air. Maka, restorasi film merupakan salah satu upaya serius menyelamatkan sejarah Indonesia di masa lalu.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif