SOLOPOS.COM - ilustrasi

ilustrasi

BOYOLALI--Tujuh kecamatan di Kabupaten Boyolali mulai dihantam kekeringan. Hal ini menyusul datangnya musim kemarau yang dibarengi dengan kesulitan mendapatkan air bersih. Sejumlah wilayah ini antara lain, si Boyolali utara dan dan lereng Merapi. Boyolali utara yakni, Kecamatan Juwangi, Wonosegoro, Andong dan Kemusu sedangkan di lereng Merapi seperti di Kecamatan Musuk, Selo dan Cepogo.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Camat Wonosegoro, Hendrayanto menuturkan, di wilayahnya ada sembilan desa yang mengalami krisis air bersih. Setidaknya ribuan KK kesulitan mendapatkan air bersih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesembilan desa itu antara lain, Gunungsari, Jatilawang, Gilirejo, Garangan dan Repaking.

Menurutnya, di Wonosegoro sebenarnya banyak terdapat sumber air. Akan tetapi, pada musim kemarau seperti ini sejumlah sumber itu mengering. Ia menyebutkan, di Desa Wonosegoro misalnya ada sebuah sumber air. Namun, keterbatasan armada pengangkut air membuat penyalurannya kurang maksimal.

Selain itu, sudah ada sejumlah program Pamsimas di berbagai titik. Namun, kini debet airnya berkurang drastis saat musim kering. Sedangkan di daerah Gilirejo, proyek ini justru baru bergulir pada 2013 mendatang.

“Pertanian di Ketoyan dan Banyusri hampir saja puso kemarin karena air tidak ada. Penyedotan sudah dilakukan tetapi tidak bisa maksimal. Sungai Serang saja kondisinya hampir kering,” ungkapnya saat ditemui wartawan di Pemkab Boyolali, Kamis (30/8/2012).

Kabag Kesra Setda Boyolali, Tri Murni mengamini kondisi kekeringan yang terjadi di Boyolali. Ia bertekad mengupayakan bantuan untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga. Pemkab Boyolali sendiri telah menganggarkan dana sekitar Rp35juta untuk keperluan dropping air bersih.

Tri mengungkapkan pihaknya telah berkoordinasi dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Boyolali untuk pemetaan daerah rawan kekeringan. Di samping itu, penyaluran bantuan air bersih bukan hanya dilakukan Pemkab saja melainkan beberapa instansi.

Pemkab bekerja sama dengan PDAM untuk penyaluran air di kawasan selatan dan Bakorwil II Surakarta untuk wilayah utara. Ia menekankan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dengan penanaman pohon. Penghijauan harus dilakukan untuk dapat menyimpan lebih banyak air di dalam tanah.

“Pemkab bakal membuat embung untuk menampung air untuk kebutuhan saat kemarau. Selain itu, bakal dioptimalkan keberadaan sumur patek dan sumur resapan,” tuturnya.

Salah satu warga Lanjaran Musuk, Triyanto menuturkan, warga terpaksa membeli air untuk keperluan sehari-hari. Di desanya, air satu tangki ukuran 5.000-6.000 liter dihargai Rp100.000. Air sebanyak ini bisa digunakan maksimal selama satu bulan.

Akan tetapi, bagi warga yang mempunyai ternak banyak, air setangki hanya cukup untuk dua pekan saja. Warga di tempat tinggalnya memilih untuk membeli air daripada mengangsu ke mata air.

Sebab, jarak pemukiman untuk menuju sumber air itu tidak mudah. Seperti halnya jika hendak mengambil air di Gua Jepang, di Sruni. Menurutnya, untuk menuju ke sumber ini harus melewati dan menyusuri jurang sedalam 50 meter.

“Warga sudah tidak mau ngangsu karena jaraknya sangat jauh. Kami lebih baik beli air saja,” ungkapnya.

Warga Juwangi, Joko mengungkapkan hal sama tentang kekeringan ini. Warga di tempat tinggalnya mengandalkan aliran Kali Mati yang semakin mengering. Mereka juga terpaksa membeli air galonan dengan harga Rp5.000/galon untuk kebutuhan air minum. Sedangkan keperluan mandi dan sebagainya mereka memilih ke sungai yang hampir kering. Ia berharap, musim hujan segera turun agar kesulitan air bersih ini dapat diatasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya