Soloraya
Senin, 11 Oktober 2021 - 09:14 WIB

Round Up: Warga Kesulitan Jual Nila, Pengidap Gangguan Jiwa Naik 6,5%

Ponco Suseno  /  Kurniawan  /  Muh Khodiq Duhri  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Kondisi kolam ikan nila di dekat Umbul Nilo di Desa Daleman, Kecamatan Tulung, Sabtu (9/10/2021). (Solopos/Ponco Suseno)

Solopos.com, KLATEN — Pembudidaya ikan nila di dekat Umbul Nilo, Desa Daleman, Kecamatan Tulung, mengaku kelimpungan.

Gara-garanya, pembudidaya ikan nila tak dapat menjual ikannya meski harga ikan nila dinilai telah terjun bebas, dalam beberapa waktu terakhir.

Advertisement

Berdasarkan informasi yang dihimpun Solopos.com, pembudidaya ikan nila di dekat Umbul Nilo, Desa Daleman, Kecamatan Tulung, tergabung dalam Kelompok Nila Sari. Di Dukuh Margosoka, Desa Daleman itu terdapat lima kolam yang dimiliki Kelompok Nila Sari. Luas kolam beragam, dari 150 meter persegi hingga 200 meter persegi.

Baca Juga: Pembudidaya Ikan Nila di Tulung Klaten Kelimpungan, Ini Alasannya

Pembudidaya ikan telah menyebar benih ikah di lokasi tersebut, sejak Januari 2021. Idealnya, seluruh ikan yang terdapat di lima kolam sudah habis terjual, sejak Agustus 2021 (waktu pembesaran ikan membutuhkan minimal enam bulan).

Advertisement

Namun kenyataan di lapangan, ikan milik para kelompok Nila Sari di Margosoka tak kunjung dipanen. Selain kesulitan mencari pembeli, harga jual ikan anjlok di tengah pandemi Covid-19. Idealnya, harga ikan nila senilai Rp27.000 per kg. Di tengah pandemi Covid-19, harga ikan hanya Rp23.000 per kg.

Baca Juga: Melihat Budidaya Ikan Nila di Saluran Irigasi Sawit Boyolali

“Tahun ini, kami benar-benar jatuh. Sejak budidaya ikan di tahun 1993, kami benar-benar mengalami persoalan terbesar di tahun ini, yaitu di tengah munculnya pandemi Covid-19. Soalnya, warung makan kan sering tutup. Enggak ada yang beli ikan di sini. Supplier juga enggak ada,” kata salah seorang pengelola kolam ikan nila di Desa Daleman, Kecamatan Tulung, Mbah Wiro, 76, saat ditemui Solopos.com, Sabtu (9/10/2021).

Akhirnya, ikan-ikan itu dibiarkan di kolam dalam waktu lama. Jika ikan masih berada di kolam, para pembudi daya ikan harus menanggung biaya pakannya.

Advertisement

Baca Juga: 1,5 Ton Ikan Nila di Karamba WGM Wonogiri yang Mendadak Mati Ternyata Siap Panen

Mbah Wiro mengatakan kolam seluas 200 meter persegi biasanya diisi bibit glondongan sebanyak 3 kuintal. Setelah enam bulan, ikan di kolam tersebut akan menjadi 2,5 ton.

Jumlah pakan yang dibutuhkan selama enam bulan hingga 100 sak (satu sak berukuran 30 kg). Harga pakan seberat satu sak senilai Rp310.000.

“Berhubung ikannya masih ngendon di sini. Kami masih memberi makan terus. Selama pandemi ini, sebenarnya kami sudah menghemat penggunaan pakan. Biasanya pakan itu menghabiskan satu sak per kolam per hari,” paparnya.

Advertisement

Saat ini, dia bisa menghabiskan dua sak per kolam per hari [kolam ukuran 200 meter persegi]. Selama enam bulan, biasanya dia menghabiskan 100 sak untuk pembesaran ikan, saat ini bisa 150 sak karena waktu panen molor. “Terus, harga jual ikan anjlok. Bisa dibayangkan kerugian yang kami alami. Doa kami, semoga pandemi Covid-19 benar-benar hilang dalam waktu dekat ini,” katanya.

 

Warga Alami Gangguan Jiwa Naik 6,5% Selama Pandemi

Solopos.com, SOLO — Kondisi pandemi Covid-19 di Tanah Air telah memicu terjadinya peningkatan angka gangguan jiwa mulai dari gangguan kecemasan hingga depresi.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mencatat peningkatan angka gangguan kecemasan mencapai enam persen dan gangguan depresi 6,5 persen.

Advertisement

Mereka yang mengalami gangguan kecemasan dan depresi berusia antara 15 tahun hingga 50 tahun.

Gangguan kejiwaan yang mereka alami mulai dari kategori ringan hingga berat.

Baca Juga: Pasien Gangguan Jiwa RSUD Gemolong Bunuh Diri

Angka tersebut diketahui dari hasil survei Persatuan Dokter Kesehatan Jiwa Indonesia (PDKJI) serta Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI.

“Di masa pandemi ini angka gangguan jiwa mulai dari gangguan cemas meningkat enam persen, termasuk gangguan depresi naiknya 6,5 persen,” terang Plt. Direktur Jendral (Dirjen) P2P Kemenkes, Maxi Rein Rondonuwu, saat menghadiri peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia Tahun 2021 di RSJD Dr. Arif Zainudin Solo, Minggu (10/10/2021).

Pada kesempatan itu, Maxi didampingi Direktur P2MKJN Kemenkes, Celestinus Eigya Munthe; Kadinkes Jateng, Yulianto Prabowo, serta Wakil Wali Kota Solo, Teguh Prakosa. Sedangkan Menkes, Budi Gunadi Sadiki, memberikan sambutan secara virtual.

Advertisement

Tema peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia Tahun 2021 yaitu Kesetaraan dalam Kesehatan Jiwa untuk Semua.

Baca Juga: 13 Orang dengan Gangguan Jiwa Jadi Sasaran Vaksinasi Covid-19 di Jatinom Klaten

Di momentum Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, Maxi mengingatkan pentingnya kesetaraan dalam kesehatan jiwa. Utamanya terkait aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan jiwa.

Sebab berdasarkan penelitian para ahli diketahui aksesibilitas kesehatan jiwa di negara-negara berkembang di angka 20 persen sampai 25 persen.

Maxi juga menekankan pentingnya mengikis stigma negatif yang masih melekat kepada kalangan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).

“Dan yang paling penting lagi, kita peringati ini, stigma di masyarakat harus betul-betul kita perjuangkan untuk menghilangkan stigma sakit jiwa itu aib, sehingga banyak angka pemasungan,” kata dia.

Apalagi Maxi menjelaskan, secara medis, ODGJ sebenarnya bisa disembuhkan atau diminimalisasi tingkat gangguannya. Sedangkan Celestinus Eigya Munthe menjelaskan penyebab meningkatnya angka gangguan jiwa, baik gangguan kecemasan maupun depresi, disebabkan berbagai hal yang dirasakan masyarakat selama pandemi Covid-19.

Baca Juga: Pengidap Gangguan Jiwa di Madiun Divaksin, Perlu Trik Khusus Agar Tidak Ngamuk

Seperti keterbatasan interaksi sosial dikarenakan keharusan berdiam diri di rumah, serta kelompok pekerja yang kehilangan pekerjaan karena pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Masyarakat yang mengalami gangguan kejiwaan di usia produktif, 15 tahun hingga 50 tahun. Mayoritas dari mereka mengalami gangguan kejiwaan ringan,” urai dia.

Namun yang membuat cemas, Celestinus menjelaskan, sebagian dari masyarakat yang mengalami depresi berat sering berpikir untuk mengakhiri hidup. Sayang dia tidak hafal berapa angka pasti dari penderita depresi berat yang berpikir bunuh diri.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif