SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Tiga orang bocah bermain-main di depan pintu rumah. Mereka asyik bercanda, tertawa tak merasakan kemiskinan yang mendera orangtuanya. Masih ada seorang bocah laki-laki merengek-rengek meminta minum di gendongan ibunya di bawah rindangnya pohon talok di depan rumah kecil dari gedek itu. Seorang nenek-nenek juga sibuk menjemur kayu bakar sebagai persediaan untuk memasak.

Rumah yang dihuni dua kepala keluarga tersebut menempati tanah magersari di pinggi Sungai Widoro. Di gubuk berukuran sekitar 4×10 meter itu dihuni pasangan Slamet Parto Diharjo, 88, dengan istrinya, Sumini, 55 serta pasangan Herwanto dan Nani, 22, yang tidak lain anak dan menantu Slamet.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Penghidupan mereka hanya mengandalkan hasil jerih payah Herwanto yang bekerja sebagai buruh rosok dan hasil kerja Sumini sebagai buruh cuci baju. Mereka menempati rumah pada tanah milik pemerintah sejak 2000 lalu. Sebelumnya mereka juga menempati tanah dengan status magersari di Kampung Sidomulyo, Sragen Wetan. Namun karena tanahnya digunakan pemerintah, mereka pun pindah lokasi di Widoro.

“Ya, beginilah pak. Kalau nanti disuruh pindah ya pindah. Tapi mau pindah ke mana juga tidak tahu. Saya sudah laporan ke pak RT sebelum menempati tanah ini,” ujar Slamet saat dijumpai Solopos.com, Senin (23/1).

Ketika hujan deras melanda, apalagi bila dibarengi angin membuat khawatir keluarga Slamet. Percikan air hujan sering masuk ke rumah Slamet melalui lubang-lubang gedek kecil. Sumini bersama Nani sering lari ke bawah pohon bambu ketika hujan deras mengguyur karena mereka takut rumahnya roboh. Angin yang melintas di daerah Widoro pada lima hari lalu membuat rumah Slamet nyaris roboh.

“Kalau hujan saya tetap di dalam rumah. Tapi mbokne anak-anak itu yang malah keluar di bawah papringan (rimbunan pohon bambu-red). Saat itu angin yang lewat ke barat tiba-tiba balik dan hampir menyapu rumah ini. Akibatnya, ya saya cari bambu untuk menyongkok (menyangga),” kisahnya.

Untuk mencari bambu sepanjang empat meter sebanyak dua buah itu, Slamet harus menunggu upah buruh cuci istrinya. Kondisi rumah yang memrihatinkan tersebut ternyata belum disampaikan kepada pengurus RT, apalagi ke pemerintah kelurahan. Mereka tak kuat untuk memperbaiki soko guru rumah yang rapuh.

Mereka hanya mengandalkan bantuan pemerintah senilai Rp300.000 yang diterima setiap tiga bulan sekali. Selain itu mereka mendapatkan jatah beras miskin (Raskin) sebanyak 15 kg per bulan. “Bantuan lainnya belum ada. Uang Rp300.000 hanya cukup untuk biaya sekolah dan kebutuhan hidup sehari-hari. Sedangkan Raskin 15 kg juga habis dalam satu pekan,” tambah Sumini.

Penghasilan Sumini pas-pasan dan tidak pasti. Hanya Herwanto yang sedikit membantu dengan mencari rongsokan. Dengan mengumpulkan barang rongsok selama tiga hari, Herwanto baru mendapatkan uang maksimal hanya Rp20.000. Mereka hanya bisa pasrah dengan kondisi hidup mereka.

“Kalau ada modal, ya sedikit-sedikit ingin usaha berjualan makanan,” harap Nani.

(JIBI/SOLOPOS/Tri Rahayu)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya