Soloraya
Minggu, 20 Maret 2022 - 20:32 WIB

Sadranan di Sukabumi Boyolali Berawal dari Murid Sunan Kalijaga

Ni’matul Faizah  /  Ponco Suseno  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Warga duduk lalu berdoa bersama di Makam Puroloyo di Tunggulsari, Sukabumi, Cepogo, Boyolali, Minggu (20/3/2022). Usai berdoa, warga pun saling mengambil makanan di tenongan tanpa memandang siapa pemiliknya. (Solopos.com/Ni'matul Faizah)

Solopos.com, BOYOLALISadranan telah menjadi tradisi turun-temurun bagi beberapa daerah di Boyolali. Salah satunya ada di Desa Sukabumi, Cepogo, Boyolali.

Sesepuh Desa Sukabumi, K.H. Maskuri, mengatakan tradisi sadrananan telah ada sejak sekitar tahun 1450. Tradisi tersebut dimulai ketika salah satu murid Sunan Kalijaga yang berasal dari Demak, Syeh Ibrahim, datang ke daerah Sukabumi untuk berdakwah.

Advertisement

Pada waktu itu, masyarakat di Sukabumi, Cepogo, Boyolali masih memegang kepercayaan animisme dan dinamisme. Syeh Ibrahim kemudian melebur menjadi satu dengan masyarakat dengan menggunakan nama Mbah Bonggol Jati.

Baca Juga: Warga Boyolali Merawat Tradisi Sadranan di Tengah Pandemi Covid-19

“Masyarakat zaman itu sudah memiliki sifat berkumpul dan bersama-sama. Kemudian, Mbah Bonggol Jati hadir mendakwah. Memakai metode seperti sadranan itu. Ada pengajiannya, ada zikir, tahlil, ada sedekah,” kata Maskuri kepada Solopos.com saat ditemui setelah acara Sadranan di Makam Puroloyo, Minggu (20/3/2022).

Advertisement

Ia menggatakan tradisi Sadranan di Sukabumi diambil mengikuti tanggal nisfu Syakban atau pertengahan bulan Syakban. Di Desa Sukabumi, Maskuri mengungkapkan menggunakan tanggal 17 Syakban.

“Tanggal 17 Syakban itu mengikuti permulaan awal makam di sini. Jadi tradisi sadranan sudah hadir sejak Mbah Bonggol hadir. Tapi bentuknya berlainan. Kalau dulu sederhana, hanya berziarah membawa tumpeng,” ungkap Maskuri.

Baca Juga: Asale Makam Pujangga Pertama Kraton Surakarta di Pengging Boyolali

Advertisement

Senada dengan Maskuri, ketua pemuda Tunggulsari, Suko Wiyono, mengungkapkan ada perbedaan tradisi sadranan zaman dahulu dengan zaman sekarang.

“Dulu itu tidak ada open house, sadranan itu ya ke makam seperti ini. Tapi, berkembangnya waktu ada open house. Namun, selama pandemi memang ada instruksi untuk tidak melaksanakan open house,” ungkap dia.

Pada 2020, Suko mengungkapkan hanya perwakilan per dukuh yang menggelar sadranan dikarenakan pandemi Covid-19.

“Perbedan yang paling mendasar dan mencolok masalah silaturahmi ke rumah-rumah. Sadranan di makam, hanya satu kali pas awal pandemi 2020. Di sini hanya perwakilan per dusun. Sekarang sadranan di makam sudah biasa, hanya untuk silaturahmi. Ada instruksi tidak boleh dari pemerintah kecamatan,” jelasnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif