SOLOPOS.COM - Ratusan mahasiswa Pendidikan Bahasa Daerah Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Yogyakarta yang tergabung dalam Forum Peduli Bahasa Daerah Se-Yogyakarta menggelar aksi damai untuk meminta dukungan wakil rakyat di Gedung DPRD Provinsi DIY, di Jl. Malioboro, Jogja, medio Januari 2013 lalu. Forum Peduli Bahasa Daerah Se-Indonesia yang terdiri dari 55 elemen kemahasiwaan dan masyarakat mempersoalkan tak dimasukkannya mata pelajaran Bahasa Daerah dalam Kurikulum 2013. (Desi Suryanto/JIBI/Harian Jogja)

Solopos.com, SOLO–Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) meluncurkan program Sastra Masuk Kurikulum bersamaan dengan perayaan Hari Buku Nasional (Harbuknas) pada Senin (20/5/2024) lalu.

Mengutip laman kemdikbud.go.id yang diakses pada Jumat (25/5/2024), Mendikbud, Nadiem Makarim menyampaikan bahwa peluncuran program itu sebagai penanda komitmen Kemdikbudristek dalam meningkatkan minat baca dan kemampuan literasi murid yang menjadi salah satu tujuan gerakan Merdeka Belajar.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Peluncuran program itu diikuti dengan peluncuran judul buku sastra sebanyak 177 judul yang menjadi rekomendasi Kemdikbudristek untuk digunakan oleh guru di sekolah. Dengan persebaran 43 judul untuk SD/MI, 29 judul untuk SMP/MTs, serta 105 judul untuk SMA/MA.

Buku-buku itu mulanya disusun oleh tim kurator yang berisi sastrawan ataupun kritikus sastra berjumlah 17 orang, kemudian disaring ulang oleh tim reviewer yang berjumlah 37 orang yang terdiri atas guru-guru dari berbagai tingkatan satuan pendidikan se-Indonesia.

Salah satu anggota tim reviewer sekaligus Kepala SD Negeri Nayu Barat 2, Wahyu Ratnawati menyambut baik program Sastra Masuk Kurikulum itu. Wahyu kemudian menjelaskan tugasnya sebagai tim reviewer dalam proses munculnya rekomendasi buku sastra.

“Kebetulan saya mendapat tugas untuk mereview tujuh judul buku, seperti Nagabonar 2, Adi Teruna, AA Navis: Karya dan Dunianya, Lupus, dan sebagainya,” ungkap Wahyu kepada Solopos.com, Jumat (24/5/2024).

Setelah membaca ketujuh judul itu, ia harus menulis ulasan dengan tujuan menunjukkan apakah dalam ketujuh buku itu ada hal-hal yang dianggap tidak layak baca.

“Ada disclaimer atau tidak, mengandung sarkasme, sadisme, LGBTQ, atau ada bullying atau tidak. Jika ada, seperti apa, untuk kemudian disaring lagi, apakah layak untuk dibaca anak atau tidak,” kata Wahyu.

Selanjutnya, tim reviewer juga harus menuliskan panduan tentang apa dan bagaimana tiap judul buku itu bisa digunakan oleh guru-guru dalam pendampingan pembelajaran.

Wahyu tidak menampik bahwa Sastra Masuk Kurikulum ini akan menambah kerja guru. Selain itu, juga menjadi tantangan baru atas sekolah-sekolah yang ada, karena harus menyediakan buku-buku sastra. Kendati demikian, Wahyu tetap optimistis semua itu bisa diatasi dengan beberapa catatan.

Pertama, setiap program baru pasti menjadi tantangan tersendiri, oleh karena itu sekolah-sekolah perlu terlebih dahulu membentuk kesiapan guru-gurunya.

“Kalau dari awal sudah berpikiran negatif terhadap program baru, maka selanjutnya tidak akan bisa. Sekolah harus membuat growing mindset para gurunya. Jadi guru-gurunya harus tuntas dulu memahami maksud dan tujuan dari program itu, dan kemudian mencintai sastra juga,” kata dia.

Kedua, memberi pemahaman terhadap orang tua dan siswa yang merupakan bagian tak terpisahkan dari sekolah. Hal tersebut menurut Wahyu penting karena dukungan orang tua terhadap proses pembelajaran anak didik sangat berpengaruh.

Wahyu juga mengaku bahwa setelah diluncurkannya program tersebut, dia langsung memimpin dan membentuk program sosialisasi dan pelatihan untuk guru agar memahami maksud dan tujuan, serta bisa menggunakan sumber-sumber yang ada dalam mengajarkan sastra untuk murid. Hal yang sama juga akan diterapkan kepada orang tua murid di sekolah yang ia pimpin.

“Kurikulum Merdeka kan mengharuskan kita adaptif dan inovatif. Kalau misal di perpustakaan sekolah tidak ada, maka bisa mencari jalan lain, dengan aplikasi Ipusnas dan sebagainya. Dengan begitu, masalah terkait kesediaan ataupun mahalnya buku bukan menjadi masalah,” kata Wahyu.

Sastra menurut Wahyu sangat penting untuk dibaca atau pun dipelajar. Karena melalui sastra ada pelajaran yang menyerupai dengan kehidupan. Dengan hadirnya Sastra Masuk Kurikulum ini menurut dia juga akan membawa nalar imajinatif murid dalam pengaplikasian pelajaran yang didapatkan murid buku-buku pelajaran teks di sekolah.

“Kalau pun ada nilai-nilai yang dianggap tidak cocok, di situlah pentingnya pemahaman guru dalam pendampingan,” pungkasnya.

Sementara itu, peneliti muda Sosiologi Pendidikan di Pusat Riset Kependudukan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Anggi Afriansyah menyampaikan program Sastra Masuk Kurikulum itu ialah program yang cukup baik untuk sekolah-sekolah di Indonesia meskipun sebenarnya bukan program baru.

“Dari pengalaman saya, sudah ada sekolah yang aware terhadap pentingnya sastra bagi murid. Mereka membuat program seperti alih wahana sastra. Walaup sekolah seperti itu biasanya adalah sekolah yang mapan,” ungkap Anggi saat dihubungi kepada Solopos.com, Jumat (25/5/2024).

Penulis buku Imajinasi, Problematika, Kompleksitas Wajah Pendidikan Indonesia itu, mengatakan akses tidak merata terhadap buku bacaan menjadi tantangan Sastra Masuk Kurikulum.

“Apakah semua perpustakaan ada atau bisa menyediakan buku itu,” kata Anggi.

Begitu pun dengan akses teknologi yang bisa digunakan untuk memperoleh buku digital. Itu tak jadi masalah bagi sekolah-sekolah yang mapan. Sementara di sebagian wilayah lainnya masih ada yang kurang siap dalam akses perbukuan dan teknologi.

Dalam bukunya, Anggi mencatat beberapa wilayah yang pernah ia teliti memang memiliki perangkat teknologi yang memadai, namun sayangnya tidak didukung oleh fasilitas yang menyertai lainnya seperti listrik dan jaringan internet yang memadai. Alhasil, perangkat canggih itu menjadi mangkrak. Dan tidak bisa digunakan seperti di wilayah lainnya.

Tantangan dan catatan lainnya yaitu soal guru. Sukses atau tidaknya program pendidikan tergantung oleh guru yang langsung menjadi operator program.



“Dalam hal program ini, guru juga perlu diperhatikan bacaannya. Apakah mereka sudah siap untuk membaca dan memahami buku yang direkomendasikan itu? Dengan begitu, keberhasilan program itu tidak terlepas dari guru itu sendiri. Anak-anak bisa menggemari sastra karena gurunya pun juga membaca dan menggemari sastra,” jelas dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya