SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Sragen (Solopos.com) – Panitia penerimaan siswa baru sejumlah sekolah di Kabupaten Sragen ternyata tak mengindahkan Surat Edaran (SE) Bupati Sragen tentang Pedoman Umum Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).

Berdasar informasi yang dihimpun Espos, Kamis (30/6/2011), sejumlah sekolah menetapkan biaya pengadaan seragam di atas harga pasaran. Seorang calon siswa baru SMAN 1 Sragen berinisial D harus membayar uang seragam hingga Rp 975.000. Selain uang seragam, D harus membayar uang pengembangan I Rp 200.000 dan uang SPP Rp 200.000. Uang sebanyak itu telah dibayarkan pertengahan bulan ini. Pembayaran senilai Rp 1.375.000 dilakukan melalui PD BPR Djoko Tingkir Sragen.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Menurut sumber Espos, uang seragam Rp 975.000 untuk satu stel seragam OSIS, satu stel seragam SMAN 1 Sragen dan satu stel seragam pramuka. Ditambah beberapa atribut sekolah seperti badge OSIS, satu set badge Pramuka, topi serta aneka atribut lain.
Tingginya biaya seragam juga terjadi di SMKN 2 Sragen di mana untuk tiga stel seragam, siswa baru harus membayar sekitar Rp 500.000. Padahal berdasar penelusuran wartawan, harga satu stel seragam di pasaran hanya sekitar Rp 70.000.

Ketua Koperasi Gotong Royong SMAN 1 Sragen, Sutomo, menjelaskan uang senilai Rp 975.000 bukan hanya untuk tiga stel seragam. Namun, kata dia, termasuk biaya untuk pengadaan tujuh item atribut sekolah, satu jas almamater, kegiatan masa orientasi sekolah (MOS), serta kartu pelajar. Pembayaran sudah dilakukan saat daftar ulang 16-18 Juni lalu melalui BPR Djoko Tingkir. “Semua ada rinciannya, bukan hanya seragam tiga stel. Tapi untuk biaya MOS, pengenalan sekolah dan outbound di Tawangmangu,” terangnya.

Sementara itu, Kepala Inspektorat Sragen, Sunar, saat dimintai tanggapan ihwal dugaan kongkalikong monopoli pengadaan seragam sekolah, menyatakan perlu melakukan penelusuran terlebih dahulu.
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi IV DPRD Sragen, Sri Pambudi, menyoroti adanya sekolah yang menambah lokal kelas atau kuota siswa. Kasus itu terjadi di SMPN 1 Kedawung, SMPN 2 Kedawung, SMPN 1 Sidoharjo dan SMPN 2 Sidoharjo. “Di Kedawung terjadi penambahan dari enam lokal kelas menjadi tujuh, begitu juga SMPN Sidoharjo yang menambah satu lokal kelas. Padahal sekolah negeri tidak boleh tambah ruang kelas. Ini lucu karena di satu sisi Disdik saat ini mengurangi jumlah rombongan belajar (Rombel) tapi ada sekolah yang tambah lokal kelas,” tegas dia.

kur

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya