SOLOPOS.COM - Pengunjung melihat pusaka keris pada Pameran Pusaka Nusantara di Museum Keris Nusantara, Solo, Kamis (23/11/2023). (Solopos.com/Joseph Howi Widodo)

Solopos.com, SOLO–Keris bertransformasi secara fungsi mengikuti perkembangan zaman masyarakat Jawa. Menilik perkembangan dan penyebarannya selama masa kerajaan Hindu hingga Islam, tampak keris pernah berfungsi sebagai Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) Kerajaan Majapahit, gaman penyebaran agama Islam di Jawa, serta simbol kekayaan bangsawan era Mataram Islam.

Selain itu, penyebaran keris di di luar pulau Jawa juga menjadi signifikansi budaya penting karena menjadi alat eksekusi. Hal ini khususnya terjadi di Bangkinang, Riau.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Petugas Konservator Museum Keris Solo, Anjang Pratama, menjelaskan keris ibarat manifestasi politik kerajaan-kerajaan Nusantara. Dia mencontohkan keris-keris era Majapahit yang berkembang dari pembuatan keris di masa Singasari, Kediri, Jenggala, dan Segaluh.

“Keris yang berkembang dari sana memiliki kekhasan berukuran kecil, kurus, besi-ne pulen, mantep lah. Berbeda dengan ciri keris Pajajaran yang memiliki kekhasan kecil tapi bilah lebar dan pamor tidak full, serta besinya tipis. Perbedaan ini secara signifikan mengatakan perkembangan kerajaan masing-masing,” ujar Anjang saat ditemui Solopos.com di kompleks Museum Keris Solo, Kamis (23/11/2023).

Anjang melanjutkan keris-keris yang dibuat di era Majapahit terbuat dari besi yang lebih tebal karena ditengarai digunakan sebagai alutsista salah satu kerajaan terbesar di Nusantara tersebut.

Anjang menjelaskan sembari menunjukkan koleksi keris yang ada di lantai 5 Museum Keris Solo. Contoh yang dia pakai untuk tunjukkan kekhasan tersebut adalah Keris Kyai Madusari.

Keris Kyai Madusari merupakan koleksi tertua Museum Keris Solo yang termasuk jenis Bethok atau keris dengan bilah sederhana.

Dhapur atau bentuk fisik keris ini berupa Jalak Sangu Tumpeng yang berarti bentuknya lurus dan berukuran sedang, sedangkan Pamor atau motif lipatan besi berupa Keleng, menunjukkan tidak ada bahan campuran dalam pembuatan besi tersebut sehingga warna bilah menjadi hitam legam. Keris jenis ini juga biasanya ditempa sangat matang sehingga memunculkan warna hitam legam.

Keris Kyai Madusari memiliki Tangguh (perkiraan zaman dibuat) pada masa Budha. Anjang mengatakan keris tersebut merupakan salah satu keris era Majapahit lantaran keris Tangguh Budha biasanya berkembang di area bekas kekuasaan Kediri hingga Majapahit.

Anjang juga mengatakan Keris Kyai Madusari sangat berbeda dengan keris-keris yang berkembang di Tangguh Pajajaran atau semasa Kerajaan Pajajaran berdiri, karena kekhasan bentuk fisik bilah yang dapat dilihat dari Dhapur dan Pamor.

Keris yang berkembang di Tangguh Pajajaran rata-rata memiliki bentuk fisik bilah yang tipis dan tidak setebal keris Majapahit. Hal ini ditengarai karena perbedaan fungsi keris di kedua kerajaan tersebut.

“Majapahit secara sejarah tercatat sebagai salah satu kerajaan terbesar di Nusantara, dalam menginvasi negara-negara lain, Raja-raja Majapahit mengerahkan seluruh rakyatnya untuk ikut bergerak dan mereka dipersenjatai keris-keris ini. Tentunya untuk menguasai daerah kekuasaan sangat besar mereka tidak hanya membuat senjata seadanya, itulah mengapa keris di era Majapahit memiliki kualitas baja sangat bagus meskipun hiasannya sederhana, karena yang memiliki rakyat jelata,” ujar Anjang.

Dia meneruskan kondisi yang berbeda dapat dilihat dari keris era Pajajaran. Bilah besi yang tipis menunjukkan keris era Pajajaran tidak terlalu kuat dijadikan senjata tajam. Menurut Anjang, hal ini karena di Pajajaran, keris beralih fungsi menjadi alat pemanen padi. Hal tersebut sesuai dengan kekhasan Pamor yang rata-rata memiliki filosofi kemakmuran.

Filosofi Kemakmuran

Pemaparan Anjang sesuai dengan keris Tangguh Pajajaran yang diamati Solopos.com, yaitu keris dengan Dhapur Tilam Upih, Pamor Wosing Wutah dan jenis Ukiran Dewi Hariti. Keris tersebut dipamerkan di lantai dua Museum Keris Solo.

Penelusuran Solopos.com mendapatkan hasil Dhapur Tilam Upih memiliki nilai filosofi kemakmuran. Kata “Tilam” memiliki pengertian alas tidur, berupa anyaman daun yang membentuk tikar. Dari kata tersebut kemudian muncul sebuah filosofi tentang Tilam Upih yang memiliki symbol kebahagiaan, khususnya untuk keluarga yang memiliki keris tersebut.

Pamor Wosing Wutah memiliki bentuk corak putih menyebar pada keseluruhan bilah keris. Nama Wosing Wutah berasal dari kata “wos wutah” yang berarti beras tumpah. Arti filosofi dari hal ini adalah daerah tersebut memiliki cadangan beras yang melimpah dan diberi kemakmuran.

Sementara itu, Dewi Hariti adalah dewi simbol kesuburan dan kemakmuran bagi masyarakat.

Anjang menjelaskan, perbedaan pola pikir terlihat dari hasil keris yang muncul dari berbagai era pembuatan. Tangguh Majapahit dan sebelum-sebelumnya menunjukkan pola pikir bangsa yang siap menginvasi negara lain untuk membangun kehebatan kerajaan, berbeda dengan Tangguh Pajajaran yang lebih banyak menunjukkan pentingnya kehidupan yang makmur dengan tanah yang subur dan hasil panen melimpah bagi bangsa mereka.

Namun keris tidak hanya menjadi alutsista maupun alat pemanen. Keris secara nyata pernah menjadi alat penyebar agama Islam. Anjang menjelaskan buktinya terdapat pada Keris Kanjeng Kyai Rapal yang disimpan di Lantai 5 Museum Keris Solo.

Keris tersebut bergaya Madura serta dibuat dari hasil asimilasi kebudayaan Madura dan Islam. Keris tersebut memiliki ketampakan fisik bilah berwarna hitam legam dengan aksen aksara Madura.

“Keris ini penanda peralihan era Hindu ke Islam. Ada tiga unit keris ini, satu di [Universitas] Leiden Belanda, satu di Keraton Kasunanan Solo, dan terakhir disimpan di sini. Selama Hindu tersebar, keris identik dengan mereka. Segala cerita mengenai kesaktian dewa yang tersimpan di dalam keris itu khas dengan ajaran Hindu, mantra dan rapalan di dalamnya juga sangat dekat dengan ajaran Hindu,” papar Anjang.

Kondisi berubah saat Islam masuk. Kesaktian yang konon ada di dalam keris tidak lagi disebut berasal dari para dewa-dewa Hindu, tetapi dari Allah SWT sesuai ajaran Islam. Menurut Anjang, hal ini karena dalam ajaran Islam, Allah SWT menjadi satu-satunya kekuatan terbesar pencipta alam semesta. Rapalan yang ditulis di dalamnya kemudian berubah menjadi Asmaul Husna atau 99 nama Allah SWT.

Asmaul Husna ditulis dalam bentuk rapalan dalam Keris Kanjeng Kyai Rapal agar masyarakat menghafalkan nama-nama Allah SWT saat penyebaran awal Islam mulai terjadi.

Keris tersebut dibuat di Madura yang merupakan produsen keris sejak zaman Majapahit. Dalam keris tersebut tertulis aksara Madura karena penyebaran agama Islam saat itu terjadi melalui perdagangan di daerah pesisir Jawa yang familier dengan bahasa Madura.



Selanjutnya, keris bertransformasi menjadi simbol kekayaan dan kehormatan saat era Kerajaan Mataram Islam sehingga keris era ini memiliki kekhasan megah dan elegan. Kesuksesan Mataram Islam membangun jaringan perdagangan dengan berbagai bangsa membuat kerajaan semakin kaya.

Pada saat ini, keris masih dipakai sebagai senjata, salah satunya ketika Sultan Agung Hanyokrokusumo mengeluarkan manual book penggunaan pedang dan keris bagi rakyat-rakyatnya melawan Belanda saat invasi ke Batavia.

 

Alat Eksekusi

Setelah invasi berakhir, rakyat yang membantu serangan mendapatkan kenaikan pangkat dengan medali kehormatan berupa keris. Lambat laun, keris di era Mataram juga menjadi simbol kekayaan dan kehormatan para bangsawan.

Di luar Jawa, keris malah menjadi alat eksekusi. Hal ini tercatat berkembang di Bangkinang, Riau. Keris Salang adalah keris yang berasal dari tempat tersebut.

Staf magang Museum Keris Solo, Chelsea Azalia Salsabilla atau yang kerap disapa Aza, mengatakan Bangkinang sebenarnya bukan tempat ideal untuk produksi keris, tetapi selama ratusan tahun tempat tersebut menjadi lokasi pembuatan keris yang produktif.

“Itu karena Bangkinang malah menjadi daerah transit para pedagang Sumatra Barat. Banyak pedagang yang berangkat dari Sumatra Barat ke pantai timur Sumatra melewati hutan lebat dan sungai-sungai yang belum dijembatani, akhirnya pedagang Sumatra memasarkan keris-keris buatan Bangkinang ke Kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya,” tutur Aza saat ditemui Solopos.com, Kamis.

Aza melanjutkan keris Salang dulunya digunakan sebagai alat pencabut nyawa para pengkhianat dan perompak di perairan Kerajaan Bangkinang. Namun eksekusi tersebut justru mengembalikan kehormatan para pengkhianat dan perompak itu kepada keluarga mereka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya