SOLOPOS.COM - Sosis solo. (Instagram)

Solopos.com, SOLO — Sosis Solo memiliki sejarah panjang sebagai salah satu menu dalam daftar kekayaan kuliner Kota Bengawan. Meskipun namanya sosis, sosis Solo berbeda bentuk maupun isinya dibandingkan sosis di negara asalnya.

Sejarawan Solo yang juga Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Heri Priyatmoko, dalam tulisannya berjudul Festival Kuliner dan Sosis Solo yang dimuat di Solopos.com, 19 April 2019 lalu, menyebut sosis Solo sebagai pencapaian ajaib di meja makan warga Kota Solo.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Sosis Solo lahir tanpa menjiplak mentah-mentah sosis dari negeri asalnya. “Sosis Solo justru mengutamakan bahan lokal dan teknik memasak bangsa pribumi,” jelas Heri dalam artikel tersebut.

Jejak sejarah sosis sebelum sampai ke Solo bisa ditelusuri hingga ke masa ribuan tahun lalu di Mesopotamia, China, hingga Yunani dan Romawi kuno. Sosis pada dasarnya merupakan makanan berbahan daging (umumnya sapi atau babi) yang dicincang atau digiling.

Memasuki abad ke-20, pengertian sosis menyempit menjadi produk daging giling yang dibungkus casing. Bahan casing untuk sosis umumnya adalah saluran pencernaan seperti usus atau bisa juga lambung sapi atau babi.

Baca Juga: Agenda Hari Ini: Solo Market Fest di Hall Tirtonadi, para Thrifters Merapat!

Di Solo, Heri menjelaskan budaya makan sosis dibawa oleh orang Belanda yang memiliki kultur ngemil sosis dan daging sapi. Pada awal abad ke-20, kebiasaan orang Belanda ngiras, meeting dan pesta di restoran mencapai puncaknya.

Kondisi itu dimanfaatkan pengusaha restoran Tionghoa di Kota Solo yang dengan kreativitasnya menciptakan sosis basah dengan cara dikukus, suatu cara memasak yang hanya dijumpai di pawon Jawa kala itu.

Gepeng dan Lebih Panjang

Isi dari sosis Solo masih mengikuti resep asli dalam sejarah yakni daging giling atau cincang. Hanya, untuk casing atau pembungkusnya tidak menggunakan saluran pencernaan seperti usus atau lambung melainkan telur yang didadar tipis.

Baca Juga: Buka SICF 2022, Wawali Bersama Warga Bakar Satai di Benteng Vastenburg

Lembaran telur dadar tipis itu diisi daging lalu digulung. Bentuknya pun tidak bulat seperti sosis di negeri asalnya melainkan agak gepeng dan sedikit lebih panjang.

Meski terlihat sederhana, dibutuhkan keterampilan untuk membungkus daging dengan kulit dari telur dadar kemudian digulung tersebut. “Inilah potret silang budaya yang apik dari dapur Kota Solo,” terang Heri.

Berdasarkan catatan Solopos.com, sosis Solo menjadi makanan primadona pada acara Solo Indonesia Culinary Festival (SICF) pada 2019 lalu. Dalam acara yang digelar pada 4-7 April 2019 itu, sebanyak 2.500 sosis Solo dibagikan secara gratis kepada warga.

Baca Juga: Waduh Ada yang Tak Tahu Sosis Solo?

Sementara itu, laman id.wikipedia.org menuliskan sosis diadopsi dari sosis pada zaman penjajahan Belanda yang kemudian diubah dan disesuaikan dengan bumbu dan gaya lokal masyarakat Kota Solo.

Konon kabarnya Paku Bowono X sendiri yang kali pertama mengubah dan meracik makanan tesebut. Namun sumber yang lain mengatakan sosis Solo dibuat karena masyarakat ingin mencoba makanan kesukaan para meneer dan noni Belanda.

Meskipun hasil adopsi dari makanan luar namun rasa maupun penampilan sosis Solo sangat khas dan berbeda dengan sosis di daerah lainnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya