Soloraya
Rabu, 22 Desember 2021 - 14:21 WIB

Selama Pandemi, Kasus KDRT di Kota Solo Meningkat 35%

Ika Yuniati  /  Muh Khodiq Duhri  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - ilustrasi (google img)

Solopos.com, SOLO – Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (Spek-Ham) Solo menyebutkan tingkat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Soloraya meningkat hingga 35% pada 2020. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa perempuan paling rentan mengalami kekerasan pada masa pandemi Covid-19.

Meskipun di sisi lain, mereka disebut paling mudah beradaptasi pada masa sulit ini. Manager Divisi Pencegahan Penanganan Kekerasan Berbasis Masyarakat, Fitri Haryani, Selasa (21/12/2021), mengatakan kenaikan kasus mulai terjadi di awal pandemi. Pada 2019 jumlahnya sebanyak 64 kasus, sementara di awal pandemi yakni sekitar pertengahan 2020 bertambah hingga 80 kasus.

Advertisement

Data tersebut ia dapatkan berdasarkan laporan masyarakat Soloraya baik secara online maupun datang langsung ke kantor Spek-Ham. Fitri mengatakan sebagian besar atau sebanyak 80% dari mereka berusia produktif antara 25 tahun hingga 35 tahun.

Baca Juga: Kekerasan dalam Pacaran Menempati Urutan Kedua Setelah KDRT

Advertisement

Baca Juga: Kekerasan dalam Pacaran Menempati Urutan Kedua Setelah KDRT

“Kalau penyebabnya ini sebenarnya titik akumulasi, tidak hanya tunggal dan pada saat pandemik saja. Jadi sudah berlangsung beberapa waktu,” kata Fitri.

Hal itu sekaligus menegaskan bahwa KDRT tidak semata disebabkan karena masalah ekonomi. Mengingat, para pelaku KDRT yang ditangani rata-rata juga memiliki pekerjaan.

Advertisement

Baca Juga: Lakukan KDRT, Pegiat HAM di Semarang Dituntut 4 Bulan Penjara

Selain KDRT,  Fitri mengatakan banyak kasus kekerasan dalam pacaran (KDP) yang juga mereka tangani. KDP di usia anak-anak biasanya berbentuk penelantaran ketika perempuan diketahui hamil. Sementara, kekerasan dalam pacarana di usia dewasa berupa ancaman hingga pemerasan.

Namun, tak semua bisa diselesaikan oleh Spek-Ham hingga ke ranah hukum. Ada faktor internal dan eksternal yang membuat penanganan beberapa kasus kekerasan mandek.

Advertisement

“Internal bisanya karena mereka enggak mau diketahui publik. Kalau eksternal kadang datang dari aparat keamanan. Yang menganggap kalau kasus kekerasan dan pemerkosaan tidak dilanjutkan penanganannya, apalagi jika dilakukan berulang. Kalau dilakukan berulangkali seolah dianggap suka sama suka,” terangnya, Selasa.

Baca Juga: Anggota DPRD Tangerang Jadi Tersangka Kasus KDRT

Associate Professor, Public Policy & Management Program, Monash University, Indonesia, Ika Idris, Selasa, mengatakan perempuan memang paling kuat dalam menghadapi krisis. Mengingat, selama ini menjadi warga kelas dua yang termarjinalkan dan terpinggirkan. Namun, sistem patriarki yang masih mengakar membuat mereka sekaligus jadi kelompok yang paling rentan di masa krisis.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif