SOLOPOS.COM - Pelaksanaan Konferensi ICIR kelima hari kedua di PUI Javanologi UNS, Kamis (23/11/2023). (Solopos.com/Maymunah Nasution)

Solopos.com, SOLO — “Kebebasan berekspresi adalah salah satu yang paling terdampak dari konteks politik hukum manipulatif dan mendominasi hari-hari ini,” papar pakar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Herlambang P. Wiratraman saat menjadi narasumber The 5th International Conference on Indigenous Religions (ICIR) di PUI Javanologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Kamis (23/11/2023).

Panel yang mengambil topik Kebebasan Berekspresi dan Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dalam KUHP yang Baru tersebut membahas mengenai KUHP yang menekan ruang bicara beberapa kelompok tertentu.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Herlambang meneruskan masyarakat jangan mudah terjebak dalam narasi politik ujaran kebencian karena dia mengkhawatirkan kejadian 2014 terulang. Dia melanjutkan, KUHP membuka ruang potensi manipulasi yang lebih sistemis.

Hal tersebut senada dengan pernyataan Dosen Pascasarjana Program Studi Lintas Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM, Iqbal Ahnaf. Dia menunjukkan data ada 72 kasus terkait KUHP dalam kurun 2010-2021, terdiri atas 61 kasus penghinaan terhadap kekuasaan dan 11 lainnya merupakan kasus ujaran kebencian terkait identitas.

Narasumber dari Institute for Criminal Justice Reform, Johana Poerba, menegaskan penting membedakan apa yang termasuk ekspresi kritik terhadap status quo kekuasaan dan apa yang termasuk hasutan kebencian.

“Bagaimana pasal ujaran kebencian yang tujuannya melindungi kelompok rentan, justru menimbulkan pembatasan-pembatasan hak mereka,” tutur Johana.

Salah satu poin penting yang juga dibahas dalam sesi ini adalah terkait dengan media sosial yang sering menjadi ruang terjadinya pelanggaran kebebasan berekspresi dan hasutan kebencian.

Menurut Dosen Pascasarjana di Indonesian Consortium for Religious Studies atau ICRS Universitas Gadjah Mada, Leonard C. Epafras, media sosial saat ini justru memberi rewards kepada orang-orang yang menimbulkan konflik dan keramaian.

Dalam panel selanjutnya, Komnas HAM diwakili Uli Parulian Sihombing hadir secara daring, sementara narasumber lainnya adalah perwakilan Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Asfinawati, dan dari ICRS UGM, Zainal Bagir.

Panel kedua mengangkat tema Pelanggaran terkait Agama atau Keyakinan dalam KUHP yang Baru: Melindungi Siapa?

Uli menegaskan jika Komnas HAM merekomendasikan pendekatan keadilan mediasi penal dalam penanganan kasus-kasus penodaan agama/kepercayaan. Hal ini didasarkan pada keadilan restoratif yang menekankan pada upaya pemulihan.

“Korban dan pelaku difasilitas oleh APH mencari solusi untuk upaya-upaya pemulihan,” ujar Uli. Namun, dia menyebutkan bahwa konsep ini sebenarnya berakar pada hukum-hukum adat kita, yang kemudian diambil oleh sarjana barat dan disebut sebagai keadilan restoratif.

Asfinawati mengatakan bahwa sulit untuk bisa membayangkan apa makna dari kekerasan terhadap agama. “Agama tidak mungkin jalan sendiri ke kantor polisi”, ungkap dia.

Asfinawati melihat penodaan agama tidak ada gunanya dan malah menimbulkan perselisihan antara kelompok yang berbeda keyakinan.

Dia juga melihat ada bias dalam peraturan ini sebab yang diatur hanya hasutan agar orang tidak beragama atau berkepercayaan, tidak ada untuk sebaliknya yaitu hasutan untuk beragama atau berkepercayaan.

Sementara itu, data menunjukkan laporan kelompok penghayat, 6 kelompok nonagama, dan dari anggota aliran yang dianggap sesat tidak ditindaklanjuti atau terhadap kelompok mayoritas keagamaan tidak ditindaklanjuti.

Dia mengusulkan agar upaya yang dilakukan selanjutnya adalah memenangkan ruang pemaknaan hukum-hukum yang sudah disahkan.

“Sekalipun hukum memang tekah diciptakan, ruang pemaknaannya bisa kita rebut untuk kelompok minoritas, baik melalui jalan konstitusi, politik, maupun komisi independen,” ungkapnya.

Hal serupa juga disampaikan perwakilan ICRS UGM, Zainal Abidin Bagir.

Zainal mengingatkan pentingnya tidak menggunakan istilah penodaan agama lagi, karena sudah tidak ada dalam realitas litigasinya (KUHP).

“Meski masih ada beberapa masalah serius dalam pasal-pasal terkait agama, ada juga beberapa titik masuk baru untuk perbaikan. Namun juga, seberapa baiknya hukum yang baru pun, tidak ada jaminan praktik akan berubah”, kata Zainal.

Sejalan dengan ide keadilan restoratif yang disampaikan Uli sebelumnya, Zainal juga sepakat bahwa pemidanaan sebaiknya dihindari, termasuk bagi orang-orang yang dianggap intoleran sekalipun.

Zainal mengatakan pengesahan KUHP sebaiknya dianggap sebagai momentum mengangkat kembali isu penodaan agama yang sudah dijanjikan oleh MK untuk direvisi sejak beberapa tahun lalu, tetapi sampai sekarang belum dilakukan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya