SOLOPOS.COM - Ilustrasi (Dok. SOLOPOS)

Sengketa lahan Wonogiri, warga di tiga desa di Paranggupito memprotes proyek jalan.

Solopos.com, WONOGIRI–Warga tiga desa di Kecamatan Paranggupito, Wonogiri memprotes lantaran lahan yang mereka garap terkena proyek pembangunan jalan. Warga merasa selama ini tidak pernah diajak berkomunikasi dengan pelaksana proyek, terlebih diberi ganti rugi.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Informasi yang dihimpun Solopos.com, Kamis (26/5/2016), sebanyak 30-an warga mendatangi kantor kecamatan setempat, Rabu (25/5/2016). Mereka merupakan warga Desa Gudangharjo, Gurtur, dan Paranggupito. Mereka meminta penjelasan Camat, Haryanto, mengenai proyek jalan tersebut. Para warga didampingi seorang pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yayasan Pengabdian Hukum Indonesia (Yaphi).

Pengacara dari LBH Yaphi yang mendampingi warga, Ign. Hery Hendro Harjuno, saat dihubungi Solopos.com menyampaikan kedatangan warga untuk menemui Camat meminta penjelasan mengenai proyek jalan yang sedang dilaksanakan. Warga tidak tahu menahu soal proyek tersebut. Warga mengetahui ada proyek setelah lahan mereka diuruk pasir dan bebatuan (makadam). Bahkan, ada lahan di dekat bibir Pantai Waru sudah dicor.

Informasi yang diterima warga lahan di sepanjang pantai di kawasan Paranggupito hingga di kawasan Gunung Kidul sepanjang lebih dari 7 kilometer (km) akan dibuat jalan. Adapun lebar jalan 7 meter. Setidaknya terdapat tujuh lahan di Gudangharjo, Guntur, dan Paranggupito yang sudah terkena proyek.

“Celakanya sejak awal warga tidak pernah diajak musyawarah. Jangankan musyawarah, sosialisasi saja tidak pernah dapat, apalagi ganti rugi. Memang ada batu yang di lahan dibeli pelaksana proyek, tapi harganya tak sebanding. Masa batu di lahan seluas 700 meter persegi hanya dihargai Rp1 juta,” kata Hery.

Dia melanjutkan lahan yang terkena proyek itu merupakan lahan sengketa. Penggarap lahan hingga sekarang masih bersengketa dengan pemilik perusahaan Batik Keris. Sengketa terjadi sejak 1989 atau 1990. Menurut Hery meski lahan tersebut masih sengketa, tidak bisa serta merta pemerintah menganggap sebagai lahan tidak bertuan.

Pemerintah juga seharusnya tetap melaksanakan mekanisme yang diatur dalam UU No. 2/2002 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dalam regulasi itu pengadaan tanah harus melalui tahapan perencanaan, sosialisasi, inventarisasi, penilaian ganti rugi, pemberian ganti rugi, dan sebagainya.

“Jadi tidak bisa lahan dianggap tak bertuan. Bahkan, seharusnya pemerintah harus menyelesaikan dulu masalah sengketa lahan itu. Kalau nantinya untuk pengembangan wisata, warga malah mendukung. Tapi warga harus diajak komunikasi. Tapi ini kan tahu-tahu proyek berjalan. Ini justru menambah masalah lagi,” imbuh Hery.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya