SOLOPOS.COM - Penari menujukkan aksi tarian sufi di halaman Masjid Agung Keraton Solo, Kamis (21/9/2023). (Solopos.com/Joseph Howi Widodo)

Solopos.com, SOLO—Seratusan orang berkumpul di depan Masjid Agung Solo, Kamis (21/9/2023) malam untuk menyaksikan tampilan tari Sufi dan Fragmen Ketoprak Sekaten

Tidak seperti biasanya, ini merupakan kali pertama di halaman Masjid Agung Solo ada panggung hiburan. Tikar digelar, para penonton bahkan betah duduk sejak pukul 19.30 sampai  21.00 WIB.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Panggung itu dibuka dengan penampilan kelompok empat penari yang tergabung dalam Tari Sufi Rumah Cinta Soloraya. Tarian yang diciptakan oleh seorang Sufi asal Persia, Jalaludin Rumi itu membawa pesan untuk selalu mencintai Allah beserta Nabi Muhammad SAW. 

Selama kurang lebih lima belas menit mereka peragakan tarian asal Turki itu. Berputar sambil diiringi musik hadrah yang berisi selawat kepada Nabi Muhammad SAW. 

Semakin malam, kawasan Masjid Agung yang disesaki penjual dawet, cabuk rambak, sampai suvenir itu semakin ramai.

Di tengah sesak lalu lalang pertunjukan dilanjutkan dengan penampilan tujuh seniman ketoprak yang terdiri dari Bongang, Momon, Eko Gudel, Genter, Mbolo, Ambar, dan Utami.

Mereka berkelakar tanpa teks. Lebih tepatnya guyonan yang mereka lempar ke penonton sepenuhnya improvisasi. Meski, tentu saja ada alur cerita yang ditulis oleh Sutradara Bakar Production, Dwi Mustanto.

Sekalipun tidak terencana, nyatanya penonton berkali-kali tertawa. Penonton tidak mengalihkan pandangan dari panggung, bahkan mereka tidak tergoda membuka telepon pintar. Cukup fokus menikmati sajian ketoprak hasil kolaborasi kelompok Bakar Production, Ketoprak Kampung, dan Ketoprak Balekambang.

Cerita yang dibawakan sangat ringan namun sarat makna, yakni tentang persaingan pedagang di sekaten yang berujung pada konflik. Meski di akhir cerita para pedagang itu bersepakat untuk damai. 

Para pemain yang memakai pakaian Jawa itu sedikit menyelipkan di sela-sela dialog nasihat untuk jualan secara sehat dan jujur. Termasuk selipan mengenai makna dan sejarah sekaten itu sendiri. Penulis Skenario, Dwi Mustanto menyebut Sekaten merupakan berkah untuk semua termasuk pedagang.

“Berkah itu harus kita syukur, bukan malah menjadi rebutan [pembeli],” kata dia ketika berbincang di sela-sela pertunjukan, Kamis (21/9/2023) malam.

Dia menjelaskan Sekaten pada mulanya hanya diniatkan hanya untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, yang kemudian dirayakan dengan konsep pasar malam seperti Sekaten. “Nah itu justru berimbas salah satunya pada ekonomi, itu yang patut kita syukuri,” kata dia.

Dwi sengaja menyelipkan muatan sejarah Sekaten di sela-sela dialog dan tidak menjadikannya menjadi alur cerita. Dia menyadari itu dibuat cerita utama malah penonton akan bosan.

Konsep cerita itu ternyata berhasil, sebab seratusan orang betah menonton sampai selesai. Dwi sendiri tidak menyangka untuk ukuran pertunjukan pertama di Sekaten yang bertempat di depan Masjid Agung itu malah ramai.

“Ini kan konsep tempatnya ada pedagang dan pengunjung pasti jalan ya, tapi ada penonton yang mau duduk ini termasuk luar biasa, fokus nonton. Padahal secara situasi tidak memungkinan untuk nonton semacam ini,” kata dia.

Memang ini menjadi selingan di sela-sela gelaran Sekaten, utamanya menjadi hiburan bagi pengunjung dan para pedagang yang menempati halam Masjid Agung Solo. 

Ini juga sekaligus mengisi kekosongan lantaran dua set gamelan Jawa yang menjadi pusaka Keraton Solo, yakni Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari setiap malam Jumat tidak dimainkan.

“Sekaten itu kan biasanya itu-itu saja, diisi dengan dakwah, gamelan, selawat, dan sebagainya. Nah ini karena Gamelan tidak dibunyikan, kita mencoba cari suasana yang lain,” Wakil Ketua Pengurus Masjid Agung Solo, Purnomo Subagyo kepada Solopos.com, Kamis (21/9/2023).

Pihaknya bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Solo untuk menyelenggarakan hiburan berupa Tari Sufi dan Fragmen Ketoprak Sekaten. Dia mengatakan hanya menyediakan tempat.

“Saya pasrah ke dinas, jadi materinya apa saya serahkan, yang penting harus ada muatan tentang Jawa dan Sekaten,” kata dia. Purnomo menyebut memang pihak pengurus masjid sepakat membolehkan gelaran seni selama tidak di area ibadah, namun di halaman.

Baik penampilan Tari Sufi dan Ketoprak Sekaten menurutnya sama-sama penting. Tari Sufi merupakan media dakwah yang membawa pesan tauhid. 

Sedangkan ketoprak mengingatkan pengunjung tentang identitas kejawaan yang dianggap sedikit pudar. “Unsur Jawa itu sudah hampir hilang. Ini dimunculkan lagi,” kata dia.

Tidak menutup kemungkinan gelaran seni semacam ini bakal dihadirkan setiap tahun dengan format yang berbeda. Dengan begitu, dakwah bisa tersampaikan dan masjid tidak berjarak dengan masyarakat, dari kalangan abangan sekalipun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya