SOLOPOS.COM - Still film Simpang Masa karya Subiyanto menceritakan pertemuan imajiner tiga seniman Jawa, Ronggowarsito, Mangkunagoro IV, dan Raden Saleh. Film ditayangkan perdana di Surakartea, Baluwarti, Solo, Minggu (19/11/2023). (Istimewa/Jalak Lawu)

Solopos.com, SOLO–Pemutaran film Simpang Masa produksi Jalak Lawu di Surakartea Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo, pada Minggu (19/11/2023) lalu berlangsung sukses.

Film garapan Subiyanto tersebut menjadi media komunikasi tanpa batas antara para sejarawan dengan ketiga tokoh seniman Jawa abad ke-19, Ronggowarsito (1802-1873), Mangkunegara IV (1811-1881), dan Raden Saleh (1811-1880).

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Film Simpang Masa menceritakan dialog imajiner antara ketiga tokoh besar Jawa di era pasca Perang Jawa (1825-1830). Imajiner karena ketiganya hidup di era yang sama di Jawa, tetapi catatan pertemuan mereka masih samar.

“Kalau dari catatan sejarah sebenarnya tidak ada pertemuan yang tercatat dari ketiganya, tetapi jika dirunut-runut ada kemungkinan mereka bertemu, itu sebabnya saya menyebutnya imajiner. Pertemuan saya buat di Solo 1866, karena pada tahun itu Raden Saleh memiliki catatan datang ke area Solo, Jogja, hingga Jawa Timur,” ujar sutradara film Simpang Masa, Subiyanto, saat dihubungi Solopos.com via telepon, Selasa (21/11/2023).

Subiyanto meneruskan dialog ketiga seniman Jawa tersebut tersusun dalam bahasa Jawa halus era abad ke-19. Ketiganya membicarakan keresahan atas kondisi Jawa pasca Perjanjian Perang Jawa dan Cultuur Stelsel yang justru menyebabkan penurunan kepercayaan diri, sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

Jawa di abad ke-19 tercatat menjadi lansekap yang penuh gejolak, terutama bagi masyarakatnya sendiri yang baru saja selamat dari konflik dahsyat Perang Jawa. Berakhirnya perang tersebut membuat Jawa memasuki era modern, tetapi gejolak masih dirasakan oleh masyarakat Jawa dan membuat ketiga tokoh tersebut berpikir.

Catatan sejarah memang mencatat Jawa menjadi adem ayem setelah Perang Jawa, tetapi kedamaian ini justru membelenggu masyarakat, karena saat itu Belanda tetap menjajah.

Subiyanto merasa Mangkunegara IV, Raden Saleh, dan Ronggowarsito memiliki kemiripan dalam pemikiran dan standing political yang jelas melawan Belanda. Hal ini dia nilai dari salah satunya langkah Mangkunegara IV yang membuka pabrik gula agar masyarakat Jawa tetap memiliki pekerjaan.

“Saat di Jawa membanjir pabrik-pabrik milik orang Eropa, Mangkunegara IV mendirikan pabrik gula di Colomadu dan Tasikmadu, menunjukkan posisinya di ekonomi rakyat. Kemudian kita soroti Raden Saleh yang bisa dikatakan dari lukisan-lukisannya menunjukkan perlawanan tersembunyi, sementara Ronggowarsito dengan serat-serat Kalatidha juga menitikberatkan masyarakat Jawa,” tutur Subiyanto.

Dia membayangkan ketiganya mengobrol dengan sudut pandang mereka masing-masing, salah satunya Raden Saleh yang pernah tinggal di Perancis. Menurut Subiyanto, Raden Saleh menyesalkan tidak ada People Power di Jawa. Hal ini menjadi salah satu dasarnya mengimajinasikan ketiga tokoh tersebut duduk dan mengobrol mendiskusikan kondisi masyarakat Jawa.

Subiyanto membayangkan pemikiran ketiga tokoh tersebut sudah maju tetapi zaman tidak memfasilitasi mereka.

Ada tiga seniman modern yang dipilih Subiyanto memerankan ketiganya, yaitu Yustinus Popo memerankan Ronggowarsito, Turah Hananto memerankan Mangkunegara IV, dan Sosiawan Leak sebagai Raden Saleh.

Subiyanto mengaku dia mencari kemiripan dan kemampuan dalam menghapalkan dialog berbahasa Jawa halus kuno untuk pemeran ketiganya.

Upaya sutradara membangun film Simpang Masa tidak berhenti di sini, tetapi juga menyusun naskah berbahasa Jawa halus kuno era 1866 yang terbilang sulit. Subiyanto mengaku diperlukan riset sekitar 6 bulan untuk menyusun kerangka waktu dan bahasa yang digunakan dalam film tersebut.

Namun, bekal Subiyanto sebelumnya sudah lumayan banyak sejak mempelajari abad ke-19 saat bekerja dengan sejarawan asal Inggris yang mempelajari Pangeran Diponegoro selama lebih dari 40 tahun, Peter Carrey. Lewat Peter Carrey, Subiyanto mempelajari Jawa abad ke-19 terutama pasca Perang Jawa.

Sementara itu, bekal lainnya dia dapatkan dari penyusunan dokumenter Raden Saleh semasa dia mengerjakan Tugas Akhir Strata 1 (S1) di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Subiyanto mengaku lewat tugas akhir tersebut, dia menjadi lebih mengenal sosok Raden Saleh.

Subiyanto lanjut mengenal Mangkunegara IV dan Ronggowarsito lebih dalam sejak kembali ke Solo dan belajar Studi Magister di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. Latar belakang keduanya membuat Subiyanto mantap menggunakan bahasa Jawa kuno halus untuk film Simpang Masa setelah sebelumnya hendak dibuat dalam bahasa Indonesia.

Sementara itu tim produksi dari Jalak Lawu, Jepri Ristiono, mengaku produksi film Simpang Masa memakan waktu 3-4 bulan di era pandemi Covid-19, yaitu tahun 2021.

“Tantangan saat itu pembatasan membuat kami cukup sulit bergerak, tetapi di luar masalah pandemi, bahasa Jawa yang digunakan untuk dialog film sudah bukan lagi bahasa Jawa yang digunakan sehari-hari, dari para aktor sendiri sangat hebat bisa mengingat dialognya,” tutur Jepri saat dihubungi Solopos.com, Selasa (21/11/2023).

Jepri mengatakan Simpang Masa awalnya hendak diputar secara perdana di masyarakat pada 2021 tetapi rencana tersebut baru dapat terwujud 2023.

Film Simpang Masa merupakan film Tugas Akhir Pascasarjana ISI Solo bagi Subiyanto, dan sebelumnya baru diputar di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2021 melalui Official Selection serta Bali International Film Festival (Balinale) 2022.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya