SOLOPOS.COM - Para peserta diskusi dengan tema Ada yang Bergerak dari Surakarta dalam acara Patjarmerah di Dalem Joyokusuman, Sabtu (1/7/2023). (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati)

Solopos.com, SOLO — Solo ternyata menjadi pionir pergerakan akar rumput untuk melawan kolonialisme, setidaknya sampai 1923. Banyak tokoh pergerakan yang muncul dari Solo dan berusaha melawan kekuasaan kolonial.

Hal itu disampaikan sejarawan dan pendiri Roemah Buku Jogja, Muhidin M. Dahlan, ketika membedah buku Zaman Bergerak karya Takashi Shiraishi dalam acara Patjarmerah di Dalem Joyokusuman, Sabtu (1/7/2023).

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Muhidin mencontohkan lahirnya Sarekat Dagang Islam (SDI) yang menjadi cikal bakal Syariat Islam bermula dari persaingan para pedagang batik etnis Jawa dengan pedagang dari peranakan etnis Tionghoa. “Sehingga ada pertikaian antara dua kampung yang sama-sama memproduksi batik, Laweyan dan Kauman. Konteks pertikaiannya karena ekonomi, mereka bersaing agar batik laku di pasaran,” jelas dia ketika menjadi pemateri.

SDI didirikan di Kampung Sondakan, Laweyan, pada 1905 oleh tokoh pribumi kala itu, yakni Samanhudi yang juga seorang saudagar batik asli Solo. Pada mulanya SDI memang dibentuk untuk memperkuat jejaring para saudagar batik dan memenangkan persaingan pasar. 

Namun pada kongres pertama di Solo pada 1906 memutuskan SDI berubah nama menjadi Syarikat Islam (SI). Pada titik itu, tokoh paling berpengaruh di Jawa kala itu, Tjokroaminoto, berhasil mengubah SI menjadi organisasi yang bisa menggerakan rakyat melawan kolonial. “Makanya Solo menjadi pusat pergerakan melawan kolonial,” kata dia.

Lebih jauh, dari organisasi itu pula muncul tokoh-tokoh pergerakan yang lahir dan besar di Solo. Sebut saja tokoh kontroversial seperti Haji Misbach yang juga terlibat pada pergerakan melawan kolonial.

Muhidin menyebut meski Misbach adalah seorang pendakwah dan pernah pergi haji, dia memiliki paham Islam-komunis. Dia memperkirakan Haji Misbach menemukan paham kiri ketika pergi haji ke Mekkah. “Setelah pulang dari Mekkah, Misbach tidak mau disebut Haji, karena gelar itu sebagai penanda kalau orang ini punya pemikiran berbahaya,” kata Muhidin.

Tidak hanya melalui SI, Misbach tercatat berkiprah di organisasi Sidiq Amanat Tableg Vatonah (SATV). Muhidin menyebut ulama asal kampung Batik Kauman itu menjadi ketua pertama SATV. Kelak organisasi ini punya singgungan langsung dengan Muhammadiyah Solo. “Nantinya Muhammadiyah Solo lahir dari SATV,” kata dia.

Tidak hanya melalui organisasi, Muhidin menyebut tokoh-tokoh pergerakan di Solo seperti Misbach turut mendirikan pers. Setidaknya Misbah memiliki dua surat kabar bernama Medan Muslimin yang didirikan 1915 dan Islam Bergerak yang muncul pada 1917.

Sebagai seorang jurnalis yang melawan sistem kolonial, Misbach berguru kepada Mas Marco Kartodikromo. Priyayi asal Blora itu merupakan murid dari pendiri koran Medan Prijaji, yakni Tirto Adhi Soerjo.

“Jadi jangan salah, dia bukan hanya seorang ulama, tapi juga jurnalis. Lewat media itu dia menulis narasi anti kolonial,” lanjut Muhidin.

Melupakan Haji Misbach

Terpisah, Ketua Solo Societet, Dani Saptoni, mengonfirmasi pergerakan melawan kolonial di Solo salah satunya dipimpin oleh Misbach. Namun sayangnya pendakwah asli Kauman, Solo, itu tidak pernah disebut dalam sejarah, bahkan dilupakan.

“Memang oleh orang Kauman sendiri, Haji Misbach sepertinya sengaja dilupakan ya karena bernapaskan merah, komunis begitu,” ujar dia belum lama ini.

Meski begitu, keberadaan Haji Misbach masih bisa dilacak melalui banyak literatur sejarah dan bukti konkret keberadaannya di Kauman. Dani menemukan fakta bahwa sebuah jalan di Kauman pernah dinamai dengan nama Haji Misbach.

“Tapi kita menemukan jejak riil, fakta bahwa dulu jalan di perempatan kecil Klewer ke utara sampai ke Jl. Slamet Riyadi itu, belakang masjid agung, namanya dulu Jl. Haji Misbach. 

Haji Misbach bersama keluarga diketahui juga tinggal di Kauman. Dia juga sering melakukan aktivitas dakwah sampai aktivitas politik di Solo. Menurut Dani, alasan kenapa Haji Misbach banyak dilupakan orang lantaran aktivitas politiknya. Haji Misbach, menurut dia, banyak bersinggungan dengan wacana komunis.

“Kalau kita melihat, Haji Misbach ini lahir tidak tepat zaman. Zaman tidak bisa menampung gelora pikirannya haji misbach yang dialektis ini. Apalagi kemudian dia melandaskan pemikiran politiknya dengan paham yang kemudian dianggap sangat berbahaya,” lanjut dia. 

Meski begitu, Dani menekankan pemikiran Haji Misbach berbeda dengan komunis yang sempat eksis di era awal kemerdekaan melalui PKI. “Meskipun sebenarnya merahnya Misbach dengan merahnya komunis di ’65 itu jelas beda,” kata dia.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya