SOLOPOS.COM - Srawung Pasar Tambak tahun 2019. (Istimewa/ICWS_infocegatanwilayahsragen)

Solopos.com, SRAGEN — Sragen merupakan kabupaten yang masih kuat mempertahankan budaya dan tradisi lokalnya yang unik. Tradisi ini umumnya digelar dalam momen-momen tertentu.

Di masyarakat Jawa, salah satu momen paling sakral adalah bulan Sura. Biasanya di momen ini masyarakat menggelar sejumlah tradisi. Masyarakat Jawa di satu daerah dengan daerah lain biasanya memiliki tradisi yang berbeda.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Bulan Sura digunakan dalam penanggalan Jawa Penanggalan ini diciptakan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma, Raja Mataram Islam pada abad ke-16 Masehi. Tiap-tiap daerah di Jawa memiliki tradisi tersendiri yang dilakukan tiap tahunnya pada malam tersebut.

Berdasarkan kalender Masehi, malam 1 Sura tahun ini ditetapkan jatuh pada malam Selasa, 18 Juli 2023. Sementara 1 Sura jatuh pada 19 Juli 2023.

Dilansir dari laman sragenkab.go.id, pada Kamis (13/7/2023), ada tradisi unik yang rutin digelar di Kabupaten Sragen di bulan Sura. Di antara sejumlah tradisi itu ada Larab Slambu Makam Pangeran Samudro dan Srawung Pasar Tambak.

1. Larab Slambu

Larab Slambu Makam Pangeran Samudro
Sejumlah peziarah berebut sisa air pembilasan kain slambu (kelambu) Makam Pangeran Samudro di Gunung Kemukus, Sragen, Sabtu (25/10/2014). (Kurniawan/JIBI/Solopos)

Larab Slambu Makam Pangeran Samudro diadakan di Gunung Kemukus Sragen setiap tanggal 1 Sura. Prosesi dimulai dengan juru kunci melepas kelambu makam Pangeran Samudro kemudian membawanya ke sungai untuk dicuci. Sementara itu, tujuh tangki air disiapkan dari mata air tua untuk membasuh kelambu. Larab Slambu Makam Pangeran Samudro mengandung makna upaya penyucian diri untuk menyambut tahun baru Hijriah.

2. Srawung Pasar Tambak

Pasar Tambak atau juga disebut Pasar Sura berlokasi di Kebayanan Cermo, Dusun Sribit, Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Sragen. Tiap malam Jumat Wage pada tanggal pertama bulan Sura masyarakat melakukan arak-arakan dari balai desa ke tempat areal petilasan Joko Tingkir. Mereka membuat pasar malam.

Yang unik, semua barang yang dijual di pasar terbuat dari bambu kebutuhan dapur dan pertanian. Pengunjung yang berbelanja di sana juga tak lupa bersembahyang di galeh (tonggak) yang konon menjadi lokasi perahu Joko Tingkir.

Selain terdapat jual beli di Pasar Tambak ini, warga dan pengurus setempat mengadakan penampilan pewayangan, sanggar seni, dan kegiatan lainnya yang juga memupuk kerukunan antar warga di Kabupaten Sragen terutama warga Dusun Sribit. Walaupun merupakan tradisi daerah, tak sedikit masyarakat dari luar Kabupaten Sragen datang untuk berpartisipasi.

Pasar Tambak sendiri memiliki sejarah panjang. Seperti dikutip dari inovasi.sragenkab.go.id, Pasar Tambak berkaitan dengan kisah seorang Raja dari Yogyakarta yang berkuasa pada zaman dahulu. Raja tersebut memiliki seorang anak bernama Pangeran Giri Noto, yang sejak lahir menderita penyakit kulit.

Sang Raja berusaha mencari kesembuhan bagi anaknya dengan berbagai cara, tetapi belum berhasil. Ketika putus asa, sang Raja mendapatkan petunjuk untuk menyembuhkan anaknya dengan melarungnya di Bengawan Solo.

Dalam kecintaan dan kasih sayangnya, sang Raja yang penuh kesabaran, ketulusan, dan keyakinan kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, melarungkan anaknya di Bengawan Solo menggunakan perahu istimewa yang disebut Prahu Jorong. Dalam perjalanan tersebut, sang Raja juga menyertakan dua pengawal kerajaan untuk menjaga anaknya.

Sang Raja berkata, “Hai anakku, aku melarungmu di Bengawan Solo dengan perahu jorong ini. Suatu saat nanti, di tempat di mana bekalmu habis, itulah tempat tinggalmu.”

Setelah beberapa hari perjalanan menyusuri sungai, ketika bekal tersebut habis, perahu jorong tersebut bersandar tepat pada Jumat Wage, bulan Sura. Kemudian, pengawal tersebut membuat patok perahu di pinggir sungai untuk mengikatkan perahu, dan tempat tersebut menjadi tempat tinggal Pangeran Giri Noto beserta pengawalnya.

Di tempat bersandarnya perahu jorong, mereka membeli bahan makanan dan perlengkapan rumah tangga tanpa ditawar. Setelah dianggap cukup, Pangeran Giri Noto dan pengawalnya membangun rumah di sekitar area patok perahu jorong tersebut, tepat di sekitar tambak. Seiring berjalannya waktu, tradisi jual beli tersebut turun temurun ditiru oleh warga sekitar.

Ketika Pangeran dan pengawalnya meninggal dunia, mereka dimakamkan di Desa Tambak (sekarang makam tersebut berada di tengah Dusun Tambak). Menurut kepercayaan Jawa, membeli bahan makanan dan peralatan rumah tangga yang dibuat oleh warga Tambak akan membawa berkah dan kelancaran dalam usaha.

Pada hari-hari tertentu, banyak peziarah yang datang untuk berdoa dan singgah di petilasan patok tersebut. Bahkan, setiap bulan Sura malam Jumat Wage, banyak orang datang untuk berbelanja dan mencari berkah. Yang unik, setiap delapan tahun sekali, pada malam Jumat Wage Bulan Suro, pasar Tambak dikunjungi oleh warga dari berbagai wilayah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya