Soloraya
Minggu, 9 September 2012 - 02:56 WIB

Sumur Pantek, Andalan Petani di Musim Kemarau

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Seorang petani asal Desa Slogo, Kecamatan Tanon, Kabupaten Sragen, Paidi, 67, menyiangi rumput di sela-sela tanaman padi miliknya, Sabtu (8/9). (Eni Widiastuti/Espos)

Seorang petani asal Desa Slogo, Kecamatan Tanon, Kabupaten Sragen, Paidi, 67, menyiangi rumput di sela-sela tanaman padi miliknya, Sabtu (8/9). (Eni Widiastuti/Espos)

Hamparan tanaman padi yang menghijau, terlihat di sisi kanan dan kiri jalan dari arah Brumbung, Kecamatan Tanon menuju Desa Karangwaru, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen, Sabtu (8/9/2012).

Advertisement

Di beberapa titik, terdengar deru mesin pompa air yang digunakan para petani untuk mengambil air dari sumur pantek. Air dari permukaan tanah itulah yang digunakan petani untuk mengairi tanaman padi. Ratusan meter selang plastik, menjadi jalan air dari sumur pantek, menuju ratusan hektare tanah pertanian. Musim kemarau yang berkepanjangan, seolah tidak menyurutkan langkah para petani di Desa Slogo, Kecamatan Tanon dan Desa Karangwaru, Kecamatan Plupuh, untuk tetap menanam padi. Padahal menanam padi di musim kemarau, butuh tenaga dan biaya lebih banyak dibandingkan menanam padi di musim penghujan.

Salah seorang petani yang juga Sekretaris Desa Karangwaru, Bambang Kusmanto, mengungkapkan menanam padi di musim kemarau, tidaklah gampang. Terkadang, nyawa menjadi taruhannya.

Ia menceritakan agar bisa mengairi tanaman padi, petani harus rutin menyalakan mesin pompa air untuk mengambil air tanah. Karena musim kemarau, air permukaan tanah pun semakin dalam. Jika sumur pantek di sawah sudah tidak menghasilkan air, beberapa petani membuat sumur pantek di sungai.

Advertisement

Bahkan demi mendekatkan mesin pompa air dengan permukaan air tanah, beberapa petani masih harus menggali sungai hingga 3 meter. Selanjutnya, membuat sumur pantek dari tanah sungai yang digali itu.

“Kalau pompa air terlalu jauh dari permukaan air tanah, tidak bisa memompa air,” jelasnya saat ditemui Solopos.com di kantor Desa Karangwaru, Sabtu (8/9).

Ketika bahan bakar pompa air yang kebanyakan menggunakan bensin, habis, petani harus mengisinya. Saat mengisi bahan bakar itulah, menjadi tantangan para petani. Pasalnya petani harus beradu dengan gas buang dari mesin pompa air. “Pernah ada petani yang mati lemas karena ketika mengisi bahan bakar, tak kuat menahan bau gas buang mesin pompa yang beracun,” ujarnya.

Advertisement

Namun demikian, ungkapnya, hasil panen tanaman padi yang ditanam ketika musim kemarau biasanya lebih baik, dibandingkan saat musim penghujan. Jika dirata-rata, biaya menanam padi untuk tanah seluas 2.500m2 sekitar Rp2 juta. Jika hasil panen dijual bisa mencapai Rp 5 juta. “Biayanya tinggi, tapi hasilnya banyak. Jadi petani semangat menanam padi, meski butuh perjuangan,” ujarnya.

Salah seorang petani asal Desa Karangwaru, Sahir, mengatakan pada musim kemarau kali ini, ia menanam padi di lahan seluas 5.000m2. Jika ditotal, biayanya mencapai Rp5 juta.

“Tapi biasanya ketika panen, hasilnya bisa dua kali lipat. Jadi untung,” ujarnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif