SOLOPOS.COM - Ilustrasi nasi. (Freepik).

Solopos.com, SRAGEN — Diversifikasi pangan yang ramai digalakkan pemerintah sebenarnya sudah dilakoni masyarakat pada zaman dulu. Namun, bergeser seiring sejumlah program ambisius pemerintah.

Sejarawan asal Solo, Heri Priyatmoko, mengatakan nasi dimakan oleh masyarakat Indonesia sejak program swasembada pangan yang dilaksanakan era rezim Soeharto yaitu pada Orde Baru.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

“Saat itu kan sedang mengupayakan Revolusi Hijau, petani ditekan untuk menanam beras, ya bisa saya bilang itu upaya berasisasi,” papar Heri sembari menghela napas dalam sambungan telepon kepada Solopos.com, Jumat (17/6/2023).

Sebagai sejarawan, Heri melihat berasisasi sebagai hal yang memiliki dua sisi, yaitu positif dan negatif. Swasembada pangan dia lihat sebagai aspek positif karena Revolusi Hijau berhasil membuat masyarakat tercukupi kebutuhan pangannya.

Namun tidak dapat dipungkiri, program arahan Soeharto tersebut lebih banyak membawa aspek negatif. Heri mengatakan akibat Revolusi Hijau terjadi keseragaman pangan. Masyarakat juga kehilangan pangan utama dan diversifikasi pangan.

Heri bercerita, kegagalan utama Revolusi Hijau adalah membuat ekologi pekarangan terbengkalai. Menurutnya, petak pekarangan memiliki nilai yang besar karena mampu menghasilkan komoditas pangan sebelum Revolusi Hijau.

“Dulu, petani itu bisa mengurus tanaman di pekarangan, tetapi karena dipaksa nanam padi terus dua masa tanam dalam setahun, energi mereka habis,” ujar Heri.

Keberagaman pangan tercapai di masa Soekarno. Heri mengatakan di masa tersebut ada buku panduan bernama Mustika Rasa yang menunjukkan kekayaan pangan bangsa Indonesia, tidak hanya beras semata.

Dia juga melanjutkan, ekologi budaya masyarakat cukup berbeda sehingga tidak bisa semuanya disuruh menanam padi.

Contoh yang paling dekat adalah tiwul di Gunung Kidul yang bisa lahir karena lahan tegalan daerah tersebut cocok untuk tanaman palawija, salah satunya singkong.

Menurut Heri, diversifikasi dan ketahanan pangan tidak bisa dipisahkan. Suatu komoditas pangan seharusnya tidak terlalu dominan tetapi jumlahnya tidak terlalu sedikit. Selanjutnya, masyarakat seharusnya tidak bergantung pada komoditas pangan tersebut.

Namun, saat ini diversifikasi pangan masih sulit dicapai menurut Heri. Pasalnya, beberapa stigma melekat pada produk-produk tersebut, contohnya pada tiwul yang dianggap makanan orang miskin. Hal ini membuat diversifikasi pangan sulit terlaksana.

Tantangan selanjutnya adalah lahan berkurang, kemudian semakin kecilnya regenerasi petani, ditambah kebijakan pemerintah tidak mendukung, serta petani masih bercitra buruk di masyarakat.

Heri yakin, diversifikasi pangan masih memiliki peluang besar untuk mengembalikan masyarakat untuk hidup bersisian dengan alam. Namun saat ini diperlukan solusi melibatkan teknologi pertanian untuk mencapai hal itu.

Kepala Desa Sukorejo, Kecamatan Sambirejo, Sragen, Sukrisno, adalah salah satu yang mendukung kembalinya diversifikasi pangan di Tanah Air.

Ia menggalakkan program menanam biji jali sebagai upaya mencari pengganti nasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya