Soloraya
Senin, 19 September 2011 - 08:15 WIB

Tak bisa disamaratakan...

Redaksi Solopos.com  /  Nadhiroh  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Drajat Tri Kartono (Dok.SOLOPOS)

Drajat Tri Kartono (Dok.SOLOPOS)

”Bagaimana jadinya apabila masyarakat yang ber-mindset konsumsi diberi tanggung jawab mengelola bidang kerja yang sifatnya produksi? Tidak nyambung kan?”

Advertisement

Logika berpikir demikian disampaikan pengamat sosial yang juga pengajar sosiologi di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Drajat Tri Kartono, Minggu (18/9/2011).

Logika berpikir tidak nyambung inilah yang menurutnya bisa digunakan sebagai penjelas program padat karya produktif yang sudah tiga tahun berjalan di Kota Solo.

Advertisement

Logika berpikir tidak nyambung inilah yang menurutnya bisa digunakan sebagai penjelas program padat karya produktif yang sudah tiga tahun berjalan di Kota Solo.

”Program padat karya sejak awal memang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan. Jadi melalui program ini masyarakat yang belum kerja bisa dilibatkan supaya perekonomian mereka membaik,” jelasnya.

Menjadi persoalan, imbuh dia, program padat karya sifatnya sangatlah top down. Bukan berasal dari usulan maupun keinginan masyarakat bawah. Karena programnya tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, akan sangat wajar apabila program di kemudian hari tidak berjalan sesuai harapan pemerintah.

Advertisement

”Kota Solo ini kan bukan lagi kota produksi. Penggerak ekonomi adalah sektor jasa dan konsumsi sehingga tidak heran apabila mindset warga ya seputar itu-itu saja. Mereka yang belum punya pekerjaan tidak akan mungkin melirik profesi produktif melainkan justru mengincar kesempatan di seputar sektor jasa dan konsumsi seperti menjadi penjual makanan atau menjadi tukang parkir. Tidak aneh kok yang seperti itu,” jelasnya.

Bidang kerja produksi, imbuh Drajat, saat ini hanya cocok diterapkan di daerah pedesaan. Ketika warga kota ”dipaksa” masuk dalam bidang tersebut, mereka tidak akan siap. ”Tidak ada keterampilan pastilah menjadi hambatan. Semisal untuk ikan kalau terserang hama ya pasti sudah langsung habis.”

Berpegang kepada penjelasan Drajat, berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah pada 2010, sektor pertanian, kehutanan serta perkebunan hanya menempati 1% dari total mata pencaharian warga Kota Bengawan.

Advertisement

Sebaliknya untuk sektor industri olahan, jasa kemasyarakatan maupun perdagangan, rumah makan serta hotel menempati 86% dari total mata pencaharian warga.

Drajat menambahkan sebagai solusi sebaiknya program padat karya tidak dihentikan. Namun seharusnya pemerintah pusat maupun daerah segera melakukan evaluasi atas program tersebut.

Hasil evaluasi selanjutnya bisa digunakan sebagai acuan dalam menentukan program yang cocok untuk masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan. Jadi, imbuh dia, jangan terjadi lagi program disamaratakan untuk desa maupun kota.

Advertisement

(Ayu Prawitasari)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif