Soloraya
Kamis, 4 Agustus 2016 - 10:00 WIB

"Tanpa 50 Aspek Ini, Solo Slow City Cuma Jadi Obrolan Kaki Lima"

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi kemacetan di Solo (Dok/JIBI/Solopos)

Solo slow city dinilai cocok diterapkan di Solo. Namun, tanpa dukungan dan terpenuhinya 50 komponen, konsep itu seperti obrolon kaki lima.

Solopos.com, SOLO — Konsep slow city mulai mengubah ritme masyarakat sejumlah kota di dunia, dari yang serba instan, cepat, dan minim pemaknaan, menjadi kota yang meletakkan kehidupan pada iramanya. Solo dinilai bukan hanya bisa mengaplikasikan konsep itu, tetapi sedang mengalaminya meski belum resmi disebut slow city. Benarkah?

Advertisement

Indonesia Marketing Association (IMA) Chapter Solo mengakomodasi pertukaran gagasan gerakan yang disebut slow city tersebut dari perspektif akademisi, pegiat kreatif, pemerhati kota, hingga legislator di The Sunan Hotel Solo, Rabu (3/8/2016) sore.

“Kecepatan tidak identik dengan kualitas,” ujar Sri Hastjarjo membuka pembicaraan dalam Royal High Tea and Sharing Session bertema Solo-Slow City di Imperial Taste Modern Oriental Cuisine di hotel itu. Dosen ilmu komunikasi UNS ini memberi gambaran bagaimana telepon pintar kini dianggap sebagai rezim baru yang menguasai kehidupan warga urban dan jadi biang kegelisahan.

Advertisement

“Kecepatan tidak identik dengan kualitas,” ujar Sri Hastjarjo membuka pembicaraan dalam Royal High Tea and Sharing Session bertema Solo-Slow City di Imperial Taste Modern Oriental Cuisine di hotel itu. Dosen ilmu komunikasi UNS ini memberi gambaran bagaimana telepon pintar kini dianggap sebagai rezim baru yang menguasai kehidupan warga urban dan jadi biang kegelisahan.

“Ketika ada SMS masuk, spontan kita buru-buru mengecek,” sambungnya.

Disampaikannya, keberadaan teknologi yang melingkupi masyarakat ini secara tidak disadari mengubah pola komunikasi antarwarga. Jika dulu masyarakat di tempat umum cenderung berbincang dengan orang di sekitarnya, kini kebiasaan itu makin jarang dijumpai. Mereka lebih sering menunduk dan memainkan gawainya.

Advertisement

Akademisi dari Ekonomi dan Bisnis UMS, Farid Wajdi, menyampaikan gagasan mengembangkan gerakan slow city di Kota Bengawan relevan dan bisa dimulai dengan langkah membangun kota tanpa tercerabut dari akar budayanya.

“Intinya menyeimbangkan globalisasi agar bisa menjaga integritas manusia dan alam sekitarnya. Apa yang ada di Solo bisa jadi modal untuk membangun fisik dan sosial,” cetusnya.

Dia menyebutkan kemunculan gagasan slow city belakangan, pemantiknya tidak jauh berbeda dengan dengan mencuatnya isu globalisasi 20 tahun yang lalu saat warga dunia jengah dengan standarisasi. “Butuh kebijakan legal formal untuk gerakan ini. Tanpa itu, gagasan slow city hanya jadi obrolan di PKL”.

Advertisement

Pelaku usaha pariwisata yang juga Vice President IMA Chapter Solo, Mirza Ananda, menyampaikan reposisi kota sebagai slow city tidak segampang menyematkan branding. Diperlukan sedikitnya 50 komponen pendukung, antara lain mewujudkan kualitas kehidupan warga yang lebih baik, menentang penyeragaman, melindungi lingkungan, intens mempromosikan perbedaan budaya, sampai membudayakan gaya hidup sehat.

“Ada kota di Turki yang sudah lima tahun apply menjadi slow city sampai sekarang belum di-approved. Semua komponen harus dilaksanakan, sampai-sampai kota benar-benar memperhatikan kualitas air dan pencemaran udaranya,” kata dia.

Budayawan Bambang Irawan mengutarakan slow city bukan barang baru bagi warga Solo. Menurut Anggota Dewan Pakar Badan Pengembangan Promosi Pariwisata Solo ini, Solo memiliki modal sosial yang kuat sebagai kota jasa, perdagangan, pariwisata dan olahraga yang bertumpu pada budaya slow city.

Advertisement

“Kita ini dari dulu sudah punya budaya alon-alon maton kelakon sebelum konsep slow city ada. Buat apa kita repot-repot menggali ide dari luar kalau di sini sudah punya intangible heritage yang melimpah,” katanya.

Akademisi dari Unisri, Suharno, sepakat Kota Solo sudah tidak berproses menuju slow city melainkan sedang mengalami. Dia mengartikan “slow” sebagai padanan “laras”. “Laras itu adanya di hati. Ini filosofi, gaya hidup, dan perilaku menyangkut harmonisasi,” tuturnya.

Dewan Pembina IMA Chapter Solo yang juga General Manager (GM) Garuda Indonesia Branch Office Solo, Mochamad Firman, menyebutkan pemaknaan gerakan slow city jangan terjebak pada tataran terminologi. Dia berujar gerakan slow city butuh diimplementasikan dalam keseharian warga.

“Konsep slow city bisa dijalankan di jalur globalisasi. Namun kita upayakan menggunakan sumber daya lokal yang dipunyai. Kita manfaatkan orangnya, prosesnya, bahannya. Intinya tujuan gerakan ini bisa meningkatkan kualitas hidup, meningkatkan kualitas alam, dan menjaga lingkungan yang berkelanjutan,” ujar Firman.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif