SOLOPOS.COM - Penari mementaskan tari Bedhaya Ketawang pada upacara Tingalan Dalem Jumenengan di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Solo, Kamis (16/2/2023). (Solopos.com/Putut Hartanto)

Solopos.com, SOLO —Tari Bedhaya Ketawang resmi ditetapkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda pada 2021 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Hal tersebut diungkapkan Pengageng Parentah Keraton Solo, G.P.H. Dipokusumo seusai acara Tingalan Dalem Jumenengan Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (SISKS) Paku Bowono (PB) XIII, di Keraton Solo, Kamis (16/2/2023).

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

“Ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda peringkat nasional, termasuk di dalamnya Tarian Bedhaya Ketawang,” ucapnya.

Dipokusumo menjelaskan tarian sakral Bedhaya Ketawang hanya dipertunjukkan ketika penobatan atau Tingalan Dalem Jumenengan SISKS Paku Buwono atau upacara peringatan kenaikan tahta raja. Tarian Bedhaya Ketawang ditetapkan bersama 20 warisan budaya tak benda lainnya yang peringkatnya nasional maupun internasional seperti keris, batik, dan wayang yang diakui.

“Ada 20 warisan budaya tak benda yang ditetapkan sebagai warisan budaya peringkat nasional. Kawasannya [Keraton Solo] ditetapkan sebagai cagar budaya nasional,” jelas dia.

Mengutip dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, Tari Bedhaya Ketawang menceritakan pertapaan Panembahan Senopati yang bertemu dan bercinta dengan Ratu Kencanasari atau Ratu Kidul.

Nama Bedhaya Ketawang sendiri berasal dari kata bedhaya yang berarti penari wanita di keraton. Sedangkan ketawang berarti langit, identik dengan sesuatu yang tinggi, keluhuran, dan kemuliaan.

Tari Bedhaya Ketawang menjadi tarian sakral yang suci karena menyangkut Ketuhanan. Mengandung makna segala sesuatu tidak akan terjadi tanpa kehendak Tuhan Yang Maha Esa.

Tari Bedhaya Ketawang menggambarkan hubungan asmara Ratu Kidul dengan raja-raja Mataram. Semuanya diwujudkan dalam gerak-gerik tangan serta seluruh bagian tubuh, cara memegang sondher dan lain sebagainya. Semua kata-kata yang tercantum dalam tembang yang mengiringi tarian, menunjukkan gambaran curahan asmara Ratu Kidul kepada sang raja.

Tari Bedhaya Ketawang ini dibawakan oleh sembilan penari. Mereka memiliki nama dan fungsi masing-masing. Tiap penari tersebut memiliki simbol pemaknaan tersendiri untuk posisinya. Penari pertama disebut Batak yang disimbolkan sebagai pikiran dan jiwa. Penari kedua disebut Endhel Ajeg yang disimbolkan sebagai keinginan hati atau nafsu.

Penari ketiga disebut Endhel Weton yang disimbolkan sebagai tungkai kanan. Penari keempat disebut Apit Ngarep yang disimbolkan sebagai lengan kanan.

Penari kelima disebut Apit Mburi yang disimbolkan sebagai lengan kiri. Penari keenam disebut Apit Meneg yang disimbolkan sebagai tungkai kiri.

Penari ketujuh disebut Gulu yang disimbolkan sebagai badan. Penari kedelapan disebut Dhada yang disimbolkan sebagai badan.

Penari kesembilan disebut Buncit yang disimbolkan sebagai organ seksual. Penari kesembilan mewakili konstelasi bintang-bintang yang merupakan simbol tawang atau langit.

Pada awalnya Bedhaya Ketawang dipertunjukkan selama dua setengah jam. Tetapi sejak zaman Paku Buwono X diadakan pengurangan, hingga akhirnya menjadi berdurasi satu setengah jam. Gending atau musik yang dipakai untuk mengiringi Bedhaya Ketawang disebut Gending Ketawang Gedhe yang bernada pelog.

Perangkat gamelan yang digunakan untuk membawakan gending ini terdiri atas lima jenis, yaitu kethuk, kenong, kendhang, gong, dan kemanak, yang sangat mendominasi keseluruhan irama gending. Bedhaya Ketawang dibagi menjadi tiga adegan (babak). Di tengah-tengah tarian, laras (nada) gending berganti menjadi nada slendro selama dua kali, kemudian nada gending kembali lagi ke laras pelog hingga tarian berakhir.

Pada bagian pertama tarian diiringi dengan tembang Durma, selanjutnya berganti ke Retnamulya. Pada saat mengiringi jalannya penari masuk kembali ke Dalem Ageng Prabasuyasa, alat gamelan yang dimainkan ditambah dengan rebab, gender, gambang, dan suling. Ini semuanya dilakukan untuk menambah keselarasan suasana.

Kerabat Keraton, Edi Wirabhumi, menjelaskan tarian ini menjadi salah satu kekayaan budaya yang dimiliki Keraton Solo.

Edi mengatakan, Tarian Bedhaya Ketawang mencerminkan tiga janji seorang manusia, pertama menjaga harmoni kehidupan. Kedua, menjaga kelestarian alam. Dan ketiga menjaga hubungan baik dengan tuhan.

“Janji yang pertama itu menjaga harmoni kehidupan, ke dua menjaga lestarinya alam, ke tiga meningkatkan hubungan baik antara kita dengan tuhan,” jelas dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya