SOLOPOS.COM - Punakawan sedang berdiaolog dengan karakter Garuda dalam pentas taetar Wayang Orang lakon Jaga NKRI di Sanggar Perwathin Solo, Sabtu (30/3/2024) malam. (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati)

Solopos.com, SOLO—Di awal pentas, lelaki dewasa bertubuh kecil itu muncul dengan kostum ala punakawan. Dia adalah Sutrisno yang sedang memerankan Bagong. Ketika kali pertama muncul, dia langsung membawakan monolog yang cukup panjang.

“Sejarah mulai dilupakan. Perjuangan para pahlawan kini hanya kenangan dan tidak berarti apa-apa. Dahulu mereka berjuang. Mengorbankan nyawa, harta, keluarga, demi kemerdekaan bangsa, mereka rela mengorbankan semua. Tapi musuh kita sekarang bukan Londo, bukan Jepang, bukan penjajah, tapi diri kita sendiri. Mari kita bersama menjaga nilai-nilai pancasila,” ucap karakter Bagong.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Dia melafalkan bait demi bait dengan fasih. Suaranya menggema hingga di sudut ruang membuat penonton pentas Wayang Pancasila dengan Lakon Jaga NKRI itu tidak bergeming. Mereka duduk lesehan menyimak di Sanggar Perwathin, Jl. Bromantakan No. 3, Punggawan, Solo, Sabtu (30/3/2024) malam.

Ketika selesai membawakan monolog segera Bagong berpaling dari penonton dan meninggalkan panggung. Panggung kecil yang penuh dekorasi dengan bebatuan dan tumbuh-tumbuhan itu segera berganti adegan. Kini mata penonton tertuju ke layar di depan panggung yang terbuat dari kain itu.

Di layar putih itu, muncul siluet atau bayangan tiga orang. Ternyata tiga orang itu adalah sosok penting bagi Republik ini, mereka adalah Soekarno, Soepomo, dan Muhammad Yamin yang ditampilkan dalam bentuk Wayang Pancasila, begitu sebutannya.

Penonton tidak melihat langsung Wayang Pancasila itu, sebab dalang memainkan wayang di balik kain putih sehingga hanya menghasilkan bayangan. Si dalang melakukan reka adegan dari dialog tiga bapak bangsa itu ketika mendiskusikan mengenai dasar negara yang cocok digunakan jika Indonesia itu lekas merdeka.

Dengan latar ilustrasi rapat BPUPKI, masing-masing memberikan usulan lima poin dasar negara. Moh. Yamin misalnya memberikan usulan Peri Kebangsaan; Peri Kemanusiaan; Peri Ketuhanan; Peri Kerakyatan; dan Kesejahteraan Rakyat. 

Lalu disusul dengan usulan Soepomo yang juga berjumlah lima poin yakni  Persatuan; Kekeluargaan; Keseimbangan Lahir dan Batin; Musyawarah; dan Keadilan Rakyat. Menteri Kehakiman pertama RI itu lebih banyak menggali dasar negara berdasarkan budaya komunal seperti gotong royong.

Soekarno juga tidak ketinggalan memberi usulan. Kecenderungan Putra Sang Fajar itu melihat ideologi yang berkembang saat itu turut mempengaruhi buah pikirnya. Dia juga salah satu yang mengusulkan ada unsur Tuhan di dalam dasar negara.

“Saya mengusulkan lima butir, yaitu Kebangsaan Indonesia; Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan; Mufakat atau Demokrasi; Kesejahteraan Sosial; dan Ketuhanan Yang Maha Esa,” kata Soekarno yang dinarasikan oleh dalang.

Secara singkat Wayang Pancasila itu berusaha meringkas proses perumusan Pancasila dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1945 lalu hingga dirumuskannya Piagam Jakarta yang menjadi cikal bakal Pancasila.

Lampu panggung kemudian redup. Tanda babak sidang BPUPKI itu berakhir. Ketika panggung mulai terang, muncul lelaki telanjang dada. Dia memulai melafalkan syair yang isinya mengkritik penerapan nilai-nilai Pancasila dalam menjalankan negara dan kehidupan sehari-hari.

Pancasila. Satu, Ketuhanan YME, tapi nyatanya masih ada perdebatan soal agama. Kedua, kemanusian yang adil dan beradab, tapi nyatanya masih ada pelanggaran HAM. Tiga, persatuan Indonesia, tapi nyatanya masih banyak konflik antar saudara, suku, dan agama.”

“Empat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah dan kebijaksanaan, tapi nyatanya rakyat menjadi korban keganasan pemimpin yang korupsi. Lima, keadilan sosial, tapi nyatanya rakyat selalu dijadikan kambing hitam,” ujar lelaki misterius itu yang diperankan oleh Bayu.

Keseriusan pentas lalu dipecah oleh kemunculan punakawan. Namun, mereka hanya bertiga, tanpa kehadiran Semar. Bagong, Petruk (diperankan Dahono), dan Gareng (diperankan Ainul) meredakan ketegangan penonton yang dari tadi disuguhkan dialog serius.

Tiga tokoh pewayangan itu mulai melempar celetukan juga guyonan ke penonton. Suasana mulai mencair dengan satire yang sengaja menyindir masyarakat ketika pelaksanaan Pemilihan Presiden 2024 lalu.

Bagong, Petruk, dan Gareng bertengkar soal siapa yang terbaik dari tiga pasangan calon yang maju di Pilpres. Kegaduhan itu semakin sengit hingga dilerai oleh sosok perempuan yang mengenakan kostum Garuda.

Sosok Garuda kemudian membawa pesan bahwa perbedaan adalah satu yang wajar, namun jangan sampai membawa perpecahan dan perselisihan antar warga negara. Kerukunan harus selalu dijaga.

Pentas yang berlangsung selama satu setengah jam itu merupakan kolaborasi antara Teater Ruang Hening dan Teater Perwathin. 

Pimpinan produksi yang juga pendiri Teater Ruang Hening, Prawoto Susilo mengatakan persiapan pentas tersebut relatif singkat, yakni hanya satu pekan. Dirinya mengajak juga para pemain muda yang masih duduk di bangku SMP hingga SMA untuk terlibat pentas di atas panggung.

Prawoto mengungkap pentas tersebut berawal dari kegelisahaan bersama yang lain tentang orang-orang hari ini, dia nilai meninggalkan Pancasila.

“Kita berusaha mengingatkan diri kita, dan kepada generasi Z. Kita harus menyampaikan sesuatu yang memang akhir-akhir ini kita geisahkan, yang mana pengamalan Pancasila mulai luntur,” kata dia kepada Solopos.com selepas pentas, Sabtu.

Prawoto meyakini teater masih menjadi media yang efektif untuk menyampaikan keresahannya itu. Selama ini Teater Ruang Hening bahkan sudah berkeliling ke desa-desa untuk menyampaikan pesan atau nilai tertentu melalui seni pertunjukan.

“Kita ingin bagaimana menciptakan ruang edukasi melalui media teater dan panggungnya kita selalu improv membuat kesederhanaan, membuat daun-daun, dan apa yang ada di desa,” kata dia.



Pentas tersebut sudah pernah ditampilkan di dua tempat, yakni di Nayu Barat, Nusukan dan kini ditampilkan di Sanggar Perwathin.

Sutradara, Sutrisno Bagong mengungkap hal serupa. Dia mengatakan awal mula terpikir membuat cerita itu berawal dari diskusi dengan anggota yang lain tentang anak-anak sekarang yang menurutnya semakin hari kepekaan sosialnya hilang.

“Kepedulian terhadap lingkungan, kepedulian terhadap sesama teman itu mulai luntur. Justru mereka lebih individualis, mereka lebih tidak peduli terhadap situasi sekitar mereka. Maka dari ini adalah salah satu kegelisahan kami,” kata dia.

Sutrisno mengatakan target dari pentas yang sederhana ini bukan aksi panggung yang spektakuler, namun pesan yang disampaikan sampai. Dia ingin seni teater menjadi media pembelajaran terutama untuk anak muda hari ini.

“Bahwa di dalam teater itu diajarkan olah rasa. Lalu dalam olah rasa itu ada kepekaan, kemudian rasa tanggung jawab, belajar memiliki mentalitas yang kuat, tidak memiliki mentalitas yang jago kate,” kata dia.

Melalui teater yang dipentaskan itu, dirinya juga ingin mengajak masyarakat untuk menjaga persatuan di tengah perbedaan. Sebab bagi negara sebesar Indonesia, perbedaan adalah satu yang mutlak, tinggal bagaimana masyarakat bisa menerima itu dan memiliki rasa toleransi yang tinggi.

“Kita harus menjadi satu, jangan sampai kita terpecah. Maka perlu dimulai dari diri sendiri untuk lebih menjaga kesatuan,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya