SOLOPOS.COM - Seorang perempuan membungkusi nasi tumpang di Dukuh Suyudan, Desa Kiringan, Boyolali, Sabtu (9/10/2021). (Solopos.com/Cahyadi Kurniwan)

Solopos.com, BOYOLALI – Satu panci besar sambal tumpang diaduk perlahan-lahan di atas tungku kayu dengan api besar. Hawa panas dari api terasa menghangatkan badan saat pagi menyapa dapur berlantai tanah itu.

Nasi tumpang yang diaduk itu dimasak kemarin. Pagi itu, pekerja hanya menghangatkan kembali sambal tumpang. Makin sering dipanasi, sambal tumpang makin sedap. Itu menjadi seperti resep turun temurun.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Sambal tumpang biasanya berisi tahu, kacang tholo, dan petai dengan kuah santan. Warna coklat sambal tumpang berasal dari satu bahan kunci kelezatannya yakni tempe wayu atau banyak orang menyebutnya tempe busuk.

“Itu sebetulnya tempe wayu bukan tempe busuk. Makin lawas tempenya makin enak. Tempenya yang enak harus dibungkus daun jati atau daun pisang. Kalau dibungkus plastik rasanya tidak enak,” kata Suprih, 71, saat ditemui Solopos.com, di warungnya Dukuh Suyudan, Desa Kiringan, Kecamatan Boyolali, Boyolali, Sabtu (9/10/2021).

Baca Juga: Lezatnya Suboli Pizza, Pizza Susu Khas Boyolali

Di warung yang mulai beroperasi kali pertama pada 14 April 1984 ini, sambal tumpang dihidangkan dengan cara dibungkus. Setiap bungkusnya berisi beberapa centong nasi putih, seiris tahu coklat ditambah irisan kubis, sejumput daun adas rebus, dan sedikit thokolan atau kecambah.

Sebagai topping-nya ditaburkan bubuk kedelai. Menariknya, daun adas menjadi sayuran yang lebih populer di Boyolali ketimbang di daerah lain di Soloraya.

sambal tumpang boyolali
Nasi sambal tumpang di Dukuh Suyudan, Desa Kiringan, Boyolali, Sabtu (9/10/2021). (Solopos.com/Cahyadi Kurniawan)

Nasi sambal tumpang lazimnya dinikmati dengan mentho atau aneka gorengan. Minumannya ada wedang teh manis atau susu segar. Kuliner ini juga bisa dinikmati dengan bakwan.

Baca Juga: Viral Soto Ayam Murah Cuma Rp2 Ribu di Boyolali, Porsinya Imut-imut

Sebungkus nasi putih dijual seharga Rp5.000. Harga itu naik dari dulu dijual dengan hanya Rp20 per bungkus. Dalam sehari, Suprih bisa menghabiskan 150-200 bungkus nasi tumpang. “Harga boleh berubah, tapi rasa tidak,” tutur dia.

Kayu Bakar Jadi Pembeda

Ia juga membagikan resep kelezatan sambal tumpang di warungnya. Sambal ini harus dimasak dengan kompor berbahan bakar kayu. Kayu bakar lebih enak dibandingkan gas sebab kayu menghasilkan bara api.

Bara inilah yang membuat sambal lebih awet panas ketimbang menggunakan gas. Kayu yang terbaik biasanya kayu mahoni lantaran memiliki bara yang awet. Di kompor kayu inilah sambal akan direbus selama empat jam.

“Perbedaannya kalau gas mati, sambal bisa langsung dingin. Sedangkan, pakai kayu, dia akan punya bara sehingga panasnya lebih awet. Jadi lebih tanak,” sambung Suprih.

Baca Juga: Tak Hanya Anjing, Ini Deretan Kuliner Ekstrim yang Ada di Soloraya

Warung itu menjadi jujugan banyak pesepeda yang singgah untuk beristirahat dan makan nasi tumpang. Saban Minggu, warung itu biasanya dipenuhi pesepeda dari berbagai daerah di Soloraya hingga Salatiga dan sekitarnya.

Salah satu pelanggannya, Budi, pesepeda asal Sawit, mengatakan ia kadang mampir ke warung seusai bersepeda bareng teman-temannya. Rutenya bervariasi bahkan hingga Klaten dan Salatiga. Di warung itulah, Budi dan kawan-kawannya beristirahat sejenak melepas penat sembari menikmati nasi tumpang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya